Jumat, 30 Januari 2009

Pemilu dan pembentukan pemerintah

A. Pemahaman Dasar.
Sesungguhnya pemilu adalah kegiatan rutin dalam sistem demokrasi. Rakyat menseleksi dan selanjutnya memilih wakil rakyat dan/atau pemimpin pemerintahan untuk periode waktu tertentu. Dalam demokrasi pemilu adalah implementasi kedaulatan rakyat. Selaku pemilik kedaulatan, selayaknya, bahkan seharusnya, mudah bagi rakyat untuk melaksanakan pemilu. Artinya undang-undang tentang pemilu yang dibuat wakil-wakil rakyat di parlemen harus mudah dimengerti agar pemerintah sebagai pelaksana undang-undang dan rakyat, yang berkepentingan atas kedaulatannya, mudah melaksanakannya. Maka menjadi ganjil bila undang-undang tentang pemilu berisi aturan rumit dan/atau ‘njlimet’’, yang notabene untuk rakyatnya sendiri. Di sejumlah negara (sistem parlementer) undang-undangnya bahkan menetapkan pemilu harus terselenggara dalam satu hingga maksimum tiga bulan pasca pembubaran parlemen. Siapa yang boleh memilih? Pemahaman umum adalah bahwa yang mempunyai hak pilih adalah rakyat yang telah memenuhi syarat tertentu (a.l. umur). Penggunaan nomenklatur rakyat di sini sesungguhnya kurang tepat. Lebih tepat disebut bahwa “yang memiliki hak pilih adalah warga negara”. Ini berarti bahwa hak pilih berlaku untuk rakyat dan pejabat/petugas negara. Hakim, pegawai negeri, polisi, dan militer adalah pejabat/petugas negara yang juga punya hak pilih. Tidak demikian dengan hak dipilih. Hak dipilih hanya ada pada rakyat. Artinya yang mengisi jabatan politik (legislatif dan eksekutif) adalah rakyat. Hakim, pegawai negeri, polisi, dan militer selaku pejabat negara tidak punya hak dipilih. Logikanya sederhana, karena jabatan politik yang konotasinya kekuasaan dan sifatnya sementara atau memiliki periode masa jabatan. Pejabat jabatan politik kembali sebagai rakyat biasa tatkala tidak lagi menjabat. Pejabat negara, selaku petugas atau alat negara, harus bebas dari pengaruh politik praktis dan oleh karenanya tidak boleh terjun ke dunia politik yang bernuansa pro dan kontra itu. Tidak sederhana dan memang tidak boleh mudah bagi pejabat negara yang mengemban tugas negara, untuk melepaskan jabatan di kurun masa jabatannya (sementara atau selamanya) hanya karena ia mengincar jabatan politik. Dengan demikian menjadi jelas makna adagium demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Asas pemilu adalah ‘bebas dan rahasia’. Rakyat bebas menentukan pilihan tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh apa atau siapapun, oleh karenanya harus terpenuhinya asas kerahasiaan dalam menetukan pilihan. Kata bebas juga mengartikan bahwa konstituen pemilih bisa menggunakan atau tidak menggunakan haknya. Pemilu adalah hak bukan kewajiban. Logikanya sederhana apabila pemilu diposisikan sebagai kewajiban bagi rakyat maka menjadi tidak berarti lagi makna kedaulatan rakyat. Digunakan atau tidaknya hak memilih oleh konstituen pemilih memiliki dua arti yang berbeda. Di negara yang sistem demokrasinya sudah ajeg, ketidakikutsertaan konstituen pemilih lebih diartikan sebagai kepercayaan rakyat akan produk pemilu. Namun, bagi negara yang sistem demokrasinya belum ajeg, ketidakikutsertaan konstituen pemilih bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan, skeptisisme, ataupun apatisme masyarakat terhadap produk pemilu. Banyak atau sedikitnya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang berlaku.
B. Pemilu Sistem Parlementer dan PemiluSistem Presidensial.
Dalam sistem parlementer obyek yang diperebutkan dalam pemilu adalah parlemen. Oleh karena jumlah anggota parlemen banyak, biasanya ratusan, maka diperlukan kelompok, dalam hal ini partai, atau koalisi partai, untuk bisa menguasai suara mayoritas di parlemen. Melalui parlemen partai pemenang, dengan atau anpa koalisi, membentuk kabinet pemerintahan (eksekutif) dan jabatan Perdana Menteri adalah pimpinan tertinggi partai pemenang. “Kontrak Sosial” adalah antara partai pemenang dengan rakyat. Umum dan biasa terjadi, dalam sistem presidensial, Perdana Menteri merangkap sebagai Ketua Parlemen sekaligus Ketua Partai (diffusion of powers). Sistem parlementer biasa disebut sebagai ‘parlemen yang memerintah’. Partai yang kalah dalam pemilu tidak ikut memerintah dan menempatkan diri sebagai partai oposisi atau netral. Sistem parlementer biasa disebut sebagai ‘sistem tradisi partai kuat’.Dalam sistem presidensial obyek utama yang diperebutkan adalah presiden. “Kontrak Sosial” adalah antara presiden terpilih (selaku individu yang dipercaya rakyat) dengan rakyat. Fungsi parlemen kendati juga dipilih melalui pemilu bukan sebagai pemegang kontrak sosial melainkan sebagai lembaga yang menterjemahkan kontrak sosial ke dalam undang-undang (yang dengan itu maka kontrak sosial dimungkinkan untuk dilaksanakan) sekaligus sebagai lembaga pengontrol kinerja presiden. Karena kontrak sosial adalah antara individu presiden dengan rakyat maka dalam sistem presidensial tidak dikenal adanya partai oposisi. Kelompok kepentingan yag memperjuangkan aspirasi tertentu yang bersifat spesifik umumnya lebih berpengaruh atas lahirnya kebijakan/undang-undang ketimbang partai. Sistem presidensial biasa disebut ‘sistem tradisi partai lemah’.
C. Pemilu di Indonesia.
Sejarah mencatat, tahun 1955 (di era UUDS 1950), dengan segala kesederhanaan, Indonesia bisa menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR dan pemilu untuk memilih anggota konstituante, hanya dalam selang waktu tiga bulan (pemilu DPR, 29 September 1955 dan pemilu untuk konstituante, 15 Desember 1955). Pemilu 1955 banyak dikenang sebagai pemilu paling demokratis. Selanjutnya, tahun 1957, diselenggarakan pemilu untuk memilih DPRD (provinsi). Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional. Di era itu pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar. Kesederhanaan pemilu bukan/tidak karena negara tidak memiliki anggaran yang baru merdeka kondisi keuangan negara memang terbatas). Tahun 1971, Orde Baru menghadirkan kembali pemilu dalam khasanah kehidupan bernegara. Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekali gus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semcam itu maka pemilu diberi predikat sebagai “Pesta Demokrasi”. Sebagai layaknya hajatan besar, tentu diperlukan biaya yang besar pula. Di era Orde Baru, Golkar bahkan mempersiapkan pemilu berikutnya sejak di hari pertama setelah diperoleh keputusan resmi pemenang pemilu. Artinya persiapan pemilu dilakukan selama 5 (lima) tahun! Di era Orde Baru, dengan motto-nya yang terkenal, “Politik No Ekonomi Yes”, dilakukan pembatasan jumlah partai. Pemilu pertama Orde Baru, 1971, masih diikuti oleh 9 (sembilan) partai politik dan 1 (satu) ‘bukan partai’ yakni Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya sejak tahun 1977, hingga tahun 1997 pemilu diselenggarakan secara berkala setiap lima tahun sekali diikuti oleh 3 (tiga) kontestan, 2 (dua) partai politik, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewadahi aspirasi kebangsaan termasuk di sini aspirasi agama non muslim dan Partai Pembangunan Indonesia (PPP) yang mewadahi aspirasi agama Islam dan 1 (satu) ‘bukan partai’ Golongan Karya (Golkar, berintikan ABRI, Birokrasi, dan golongan ‘non partai’). Dari jumlah 500 kursi DPR (merangkap sebagai anggota MPR), yang ‘dipemilukan’ adalah 400 buah kursi karena ABRI, yang tidak ikut pemilu, memperoleh kursi tetap 100 buah. Anggota MPR Utusan Golongan (UG) dipilih dan diangkat Presiden dan Utusan Daerah (UD) dijabat oleh Muspida yakni Pangdam, Kapolda, Kajati, Gubernur, dan Ka DPRD Tk I. Sejak pemilu 1971 hingga pemilu 2009 ‘pemilu borongan’ sepertinya sudah menjadi pilihan baku sistem pemilu di Indonesia.Satu tahun pasca tumbangnya Orde Baru (1999) diselenggarakan pemilu yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan partai), anggota DPR, DPRD Tk I, dan DPRD Tk II. Mulai diperkenalkan lembaga khusus yang bertugas menyelenggarakan pemilu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) namanya. Obyek yang dipilih tidak berbeda, mencoblos tanda gambar partai. Entah oleh banyaknya partai entah oleh aturannya yang memang kurang jelas, di era yang katanya demokrasi, rakyat mulai merasakan pemilu kali ini ruwet dan njlimet. Masyarakat mulai ‘diperkenalkan’ dengan ‘budaya’ protes-memprotes hasil pemilu. Tahun 2004, adalah pemilu kedua pasca Orde Baru, selain memilih anggota legislatif juga mulai diperkenalkan pemilu untuk memilih presiden secara langsung. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 (dua puluh empat) partai dengan menambah satu obyek, memilih anggota DPD (bukan dari partai). Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai nasional dan 6 partai lokal, setiap pemilih memperoleh kesempatan untuk menjatuhkan pilihan pada calon anggota legislatif, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD (yang kini bisa berasal/dicalonkan partai). ‘Budaya’ protes-memprotes hasil pemilu kembali marak.Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai (masih di tambah dengan calon independen dan 6 partai lokal di Aceh). Tidak kurang ruwet dan njlimet dibanding dengan yang sudah-sudah. Diperkirakan tidak kurang dari 300 hingga 500 calon yang terdaftar resmi di KPU di setiap daerah pemilihan bertarung atas nama partai (dan a.n. independen) memperebutkan kursi DPD, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, hasil perolehan suara partai di DPR akan menentukan komposisi dan/atau konfigurasi calon presiden/wakil presiden. Untuk pemilu legislatif diberlakukan metode baru, bukan mencoblos, melainkan dengan cara ‘mencontreng’ dua kali. Hal yang memang logis karena kendati kertas lembaran yang memuat nama partai dan nama calon sudah cukup besar namun, dikarenakan banyaknya nama calon, kolom obyek masih terlalu kecil apabila pilihan dilakukan dengan cara mencoblos dan masih riskan apabila ‘mencontreng’ hanya dilakukan sekali (contrengan bisa melebar ke kolom lain). Pertanyaannya adalah seberapa besar kemampuan daya ingat (memori) konstituen pemilih dalam menengarai obyek yang akan dipilih yang jumlahnya ratusan itu? Sudahkah diperhitungkan kesulitan yang akan dialami oleh konstituen buta aksara dan/atau yang telah renta. Di sisi lain bagaimana calon-calon, yang jumlahnya ratusan itu, mengkampanyekan diri dan partainya di atas begitu terbatasnya ruang umum yang tersedia di hampir seluruh daerah pemilihan. Berapa besar daya tampung media cetak dan elektronik memberikan porsi yang adil bagi setiap calon? Berapa besar dana yang harus dikeluarkan calon, di luar anggaran negara sebesar Rp 22,7 trilyun, untuk membiayai kampanye di ajang pertarungan yang terlanjur berpredikat sebagai pesta demokrasi. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut berkait langsung dengan kualitas perolehan hasil pemilu.
** Hendarmin Ranadireksa , Perhimpunan Mahasiswa Bandung 1962 **
** Sekjen Forum Bandung **

Selasa, 27 Januari 2009

Perjalanan Karier Peterjun H. Johny Nasution alm (PMB’71)

Terjun Pertama Kali di Usia 21 Tahun

SEBAGAI aktivis di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) tentu banyak sekali kegiatan yang dilakukannya. Secara sengaja, ia kemudian mulai berkenalan dengan olah raga terjun payung.
Saat itu di Bandung ada sebuah klub terjun payung sipil, Aves, yang didirikan beberapa orang sipil antara lain Trisnoyuwono (alm), Arifin Panigoro, Ahmad Buchari Saleh, Syarif Barmawi, Hertriyono. Sebagian besar dari mereka adalah senior Johny dari PMB yang juga anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) dari Batalion II ITB.
Mereka sedang mencari bibit-bibit peterjun muda untuk dididik dan bergabung menjadi anggota Aves. Mereka tidak membuka pendaftaran secara umum, namun membidik para aktivis dari beberapa organisasi kemahasiswaan dan salah satunya dari PMB. Pada 1972, berawal dari ketertarikannya di masa kecil, Johny kemudian bergabung dengan Aves sebagai angkatan keempat di klub peterjun sipil itu.
“Saya diperkenalkan terjun payung oleh Ahmad Buchari dan Dikdik Hasan yang menjadi mentor pertama saya mencoba olah raga terjun payung. Saya mau karena memiliki rasa penasaran dan dari sanalah saya mulai bergelut dengan olah raga ini,” kata Johny.
Selain para senior yang membantunya, Johny juga mendapatkan pelatihan dari Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU (Paskhas TNI AU sekarang) dengan mentor Yusman dan Ruru. Dengan keteguhan hatinya, Johny mengikuti semua pelatihan dengan cermat dan tekun sehingga tidak lama ia sudah bisa menguasai olah raga tersebut.
Namun, tidak ada satu pun dari anggota keluarganya yang mengetahui tentang kegiatannya itu. Hampir setiap subuh, Johny selalu pergi dari rumah, sehingga adik-adiknya menyangka rajin ke masjid untuk mengikuti kuliah subuh. Padahal, pria yang akrab disapa Bang Ade itu pergi untuk berlatih di Margahayu Bandung secara diam-diam.
“Saya sengaja tidak memberitahukan hal itu karena saat itu olah raga terjun payung masih sangat awam untuk dipahami. Apalagi risikonya cukup tinggi sehingga jika saya meminta izin, kemungkinan besar tidak akan diluluskan apalagi oleh ibu saya. Saya baru memberi tahu mereka dari hasil foto koran saat saya selesai terjun dan mereka terkejut,” kata Johny.
Ia memulai latihan dengan melakukan ground training di Bandara Sulaeman Margahayu Bandung. Setelah beberapa lama, pada usianya yang ke-21, Johny memulai penerjunan pertamanya di Margahayu. Saat itu ia terjun dari pesawat Gelatik sumbangan dari negara Spanyol kepada Lipnur (PT DI sekarang).
“Pada awal terjun, modal saya hanya nekat. Sepertinya tidak ada rasa takut, karena saya belum tahu bagaimana rasa terjun dari angkasa itu. Justru yang ada hanya keingintahuan dan kepenasaran yang ditunjang darah berpetualang saya untuk mencoba sesuatu yang baru. Ternyata saya berhasil dan ada kepuasan tersendiri seusai melakukannya,” tutur Johny.
Justru, rasa takut mulai muncul setelah ia beberapa kali melakukan penerjunan. Untuk itu, ia selalu berusaha me-manage rasa takutnya itu. Ia bisa mengatasinya dengan keyakinan serta doa kepada Tuhan.***
** Meninggal dunia tgl 28 Januari 2009 **

Selasa, 20 Januari 2009

Berita persiapan perploncoan 2009


Calon anggota PMB saat brefing

Paduan suara senior PMB Calon anggota PMB saat Open House

Gong Chi Pa Chai
Salah satu acara Masa Penerimaan Anggota Baru 2009

Minggu, 18 Januari 2009

Berita Gempa Manokwari

Syahban Dharsono PMB 1988 dan Andi Sahrandi PMB 1967 (Posko Jenggala)
Ditengah-tengah korban bencana alam Manokwari.
Bupati Manokwari, relawan, Andi Sahrandi (Posko Jenggala, PMB 1967) dan Syahban Dharsono PMB 1988

Kamis, 08 Januari 2009

Ketahanan Energi

Ketahanan Energi Perlu
Bandung, Kompas, 1 November 2008

Tarikan kebutuhan antara energi terbarukan dan pangan akan terus meningkat pada masa depan. Untuk itu, gerakan bersama mewujudkan ketahanan energi dan pangan nasional harus segera dirintis guna menghindari krisis lanjutan yang mengancam Indonesia ke depan.
Salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi sekaligus pangan ini adalah dengan mengaplikasikan konsep Kawasan Terintegrasi Pangan dan Energi Terbarukan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua selatan.
Demikian disampaikan pendiri Grup Medco, Arifin Panigoro*), dalam kuliah umum bertema ”Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan”, Jumat (31/10) di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.

(Arifin Panigoro memberikan materi kuliah umum bertema "Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan" di Aula Barat ITB, Jawa Barat, Jum'at (31/10). Ia berbicara soal perlunya upaya pemanfaatan lahan kritis, baik untuk tanaman energi terbarukan maupun tanaman pangan.)

Orasi dipandu Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Rosiana Silalahi dan dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, pemimpin sejumlah media cetak dan elektronik, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Menurut Arifin, tingginya ketergantungan bangsa ini terhadap energi fosil telah mengantarkan Indonesia pada keterpurukan. Laju konsumsi energi fosil tak bisa dikendalikan, angka penjualan kendaraan terus meningkat pesat setiap tahun, sementara cadangan dan produksi minyak terus turun. ”Dollar yang paling banyak digunakan untuk BBM ini tak kurang dari 1 miliar dollar AS per bulan. Ini sangat berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah,” katanya.
Indonesia, kata Arifin, harus segera bangkit dan mengantisipasi kebutuhan pangan maupun energi terbarukan secara terintegrasi. Memiliki baik etanol, biofuel, biodiesel, tetapi di sini lain juga tidak mengabaikan kebutuhan pangan. ”Tarik-tarikan di antara dua hal ini (kebutuhan pangan dan energi terbarukan) dari tanaman ke depan bakal semakin serius,” ujarnya seraya mencontohkan kasus melonjaknya harga jagung akibat konversi 30 juta ton komoditas itu menjadi etanol di Amerika Serikat.
Dia mengatakan, keberhasilan Brasil menghilangkan ketergantungan pada energi fosil patut ditiru Indonesia. Di negara itu diterapkan lahan terintegrasi 3,6 juta hektar penghasil gula dan etanol berbasis tebu.
Papua Selatan cocok
Di Indonesia, wilayah yang paling cocok mengadopsi sistem lahan terintegrasi ini adalah Papua Selatan dengan lahan yang tersedia seluas 12 juta hektar. ”Kebutuhan 350.000 barrel BBM (konsumsi nasional) bisa disubstitusi dari Papua saja. Estimasi produksinya 21,6 juta ton dan penghasilan 16 miliar dollar AS.”
Dalam skala mikro, di lahan seluas 20 hektar, Medco tengah mengembangkan riset areal terintegrasi ini di wilayah Merauke, Papua selatan. Ia optimistis, ke depan lahan ini bisa dijadikan model pengembangan dalam skala yang lebih besar. Hanya saja, persoalan yang tersisa adalah mengenai infrastruktur jalan, transportasi, dan irigasi.
Menurut alumnus Teknik Elektro ITB ini, riset ini bersifat nonprofit dan bisa dimanfaatkan banyak pihak.
Sementara dalam acara halalbihalal di Hotel Grand Preanger, Bandung, Arifin menyatakan belum siap untuk maju sebagai calon presiden. Acara dihadiri, antara lain, mantan Gubernur Jabar Solihin GP, mantan anggota DPR Tjetje Padmadinata, dan mantan Ketua KPU Jabar Setia Permana. (JON/REK/JAN)
*) Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 64

Rabu, 07 Januari 2009

Menyikapi Konflik Israel-Palestina

Menyikapi Konflik Israel-Palestina secara Proporsional

Serangan Israel ke Jalur Gaza belum memperlihatkan tanda-tanda mereda. Bahkan, eskalasi serangan semakin meningkat. Hingga hari ke-8, Minggu, 4 Januari 2009 serangan Israel telah menewaskan sekurangnya 436 warga dan 3000 an luka2. Agresi menimbulkan kecaman dunia.....dstnya. Perbincangan berikut adalah hasil wawancara VERY HERDIMAN (wartawan JurNas) dgn Prof. Dr. Bachtiar Aly (Guru Besar FISIP-UI, dan anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung 1969), :

VN/JN : Hingga kini tidak ada kekuatan yang bisa membendung aksi Israel?
BA : Invasi ini hanya bisa dihentikan bila yang menekan itu semata-mata adalah Amerika Serikat (AS). Kalau AS tidak melakukan penekanan terhadap Israel, maka dia akan berkelanjutan. Jadi, ada persoalan juga. Momentum ini (invasi Israel) dipilih karena ada masa transisi dari Bush ke Obama. Jadi, Bush juga tidak bisa banyak berbuat lagi. Politik LN AS memang sangat berpihak ke pada Israel. Sementara Bush pernah berikan janji pada masa pemerintahannya kedua bahwa akan membantu memberikan kemerdekaan kepada Palestina. Tapi itu ternyata tidak terjadi. Jadi, ada semacam ketidakberdayaan dunia internasional bahwa inisiatif AS itu tdk maksimal. Agresi Israel ini juga tidak dapat banyak dihentikan kalau AS belum mampu diyakinkan bahwa agresi sudah di luar batas kemanusiaan, sudah melanggar kon-
vensi Geneva. PBB juga sulit diharapkan. Selama struktur pengambil keputusan seperti sekarang - dengan adanya hak veto dari salah satu Negara - akan sulit.

VN/JN : Sementara Barrack H. Obama juga hingga kini belum bersuara?
BA : Buat Obama pribadi tidak bisa serta merta langsung bersuara karena dia secara formal belum dilantik, belum dikukuhkan sebagai Presiden. Tapi memang kita berharap kepada kepemimpinan Obama yanag lebih mengerti mengenai konstelasi politik di Timur Tengah, karena konflik ini sdh puluhan tahun. Jadi, mesti diketahui akar permasalahan ini dari awal. Uni Eropa juga tidak akan bisa banyak diharapkan kecuali mereka membantu secara kemanusiaan.
VN/JN : Dalam kasus Palestina, AS kelihatannya menggunakan standar ganda?BA : Persoalannya menjadi sulit karena AS menganggap HAMAS sebagai kelompok teroris, karena itu Hamas yang hrs menahan diri. Jadi, ini dua pandangan yang sulit bertemu. Padahal kita tahu Hamas itu menang pada Pemilu di sana. Pemilu itu justru didorong oleh AS. Pemilu yang diselenggaarakan itu dimenangkan oleh Hamas, sementara AS lebih pro kepada Fatah dbp Mahmoud Hamzah.

VN/JN : Apa yang harus dilakukan utk menghentikan agresi?
BA : Kalau sekarang DK PBB gagal, salah satu cara yang dilakukan adalah mendorong melakukan Sidang Umum MU-PBB MU diundang, semua Negara anggota PMB hadir disana. Tapi itu lebih merupakan sanksi moral kepada Israel dan dukungan moral kepada Palestina. Tapi serangan tdk bisa dihentikan bila AS tdk menekan Israel. Persoalannya juga Negara Arab tidak cukup solid membantu perjuangan Palestina. Kalau mereka mau membantu maka jangan tanggung2. Bukan hanya sukarelawan, tetapi juga kirim senjata. Diplomasi tidak bisa menyelesaikan persoalan.

VN/JN : Bagaimana anda melihat persoalan Palestina dari kaca mata dalam negeri?.
BA : Mendukung Palestina merdeka adalah satu komitmen konstitusi kita. Karena itu, siapapun pemerintah yad harus tetap mendukung Palestina. Yang kita perlukan adalah di dalam urusan solidaritas untuk Palestina ini, pemerintah, rakyat, DPR harus kompak. Kita setuju dengan Palestina, hanya kita harus proporsional. Sekarang kita mau mengirimkan sukarelawan. Kita mesti lihat bahwa sukarelawan itu harus terampil. Jika tidak maka akan menimbulkan beban saja.

VN/JN : PKS gencar menggalang demonstrasi. Ada upaya politisasi?.
BA : Dalam sejarah perpolitikan kita dalam beberapa pemilu isu agama tidak mempunyai nilai jual politik yg tinggi. Itu hanya sentimen sesaat saja. Nilai jual tinggi adalah bila sebuah partai memberikan jaminan, upaya untuk kesejahteraan dan keadilan. Jadi menggunakan sentimen agama tidak dilihat orang lagi. Faktanya dalam beberapa kali pemilu yang menang dan dilirik bukan partai agama, tapi partai nasionalis seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat.
Masalah di Israel sdh sangat kompleks. Jadi, bukan masalah agama. Jangan lupa orang Israael, Palestina, Arab itu satu rumpun besar. Itu termasuk rumpun yang punya Nabi Ibrahim, yang disebut agama Samawi. Oleh karena itu problem di sana lebih kepada dominasi Israel yang lebih menguasai semua. Orang Arab ada yang beragama Kristen, Yahudi. Jadi, kita jangan terjebak dalam perang agama, kaerna ini memang perang sipil, perang peradaban. Artinya peradaban orang yang beradab yang memakai pikiran universal dengan orang yang masih berfikiran konservatif (Israel). Jadi, kalau ada orang yang bilang begitu silakan saja, tapi kita tdk perlu harus terprovokasi.

VN/JN : Bagaimana anda menilai sikap pemerintahan SBY terhadap kasus ini?
BA : Pernyataan Pres. SBY yg meminta DK-PBB memberikan sanksi keras kepada Israel sdh sangat tepat. Dan itu sdh dilakukan juga oleh Dubes kita di PBB, Marti Natalegawa. Optimalisasinya itu tentu pernyataan yang keras. Tapi yang lebih penting adalah melakukan multitrack diplomacy. Artinya, melakukan pendekatan dalam segala lini. Kita ada wakil di PBB, melobi Negara di sana, supaya DK PBB memberikan sanksi, melobi AS. Tapi juga kita harus bisa melobi pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Yordania. Karena Mesir dan Yordania punya pakta perdamaian dengan Israel. Mereka bisa "membujuk" Israel agar jangan berlebihan.

(ketik ulang o/ SA'69)

Senin, 05 Januari 2009

Berita MPAB 2009 & Palestina

==============================================
PALESTINA
Mari kita dukung misi kemanusiaan Medical Emergency Rescue Commitee ke Palestina via SMS.

ketik MERC PEDULI kirim ke 7505 untuk memberikan donasi Rp. 5.000;/SMS

Dan sebarkan demi fisabilillah
=========================================