Rabu, 16 Maret 2011

Foto dalam berita ..


Beberapa waktu yang lalu di Papua



Pancagila di REPUBLIKA 18 Juni 2011, hal 20.
PANCASILA

Berbagai pihak menuding banyak anak muda tak hafal Pancasila. Tapi, menurut pemasang baliho ini, banyak pejabat yang tak melaksanakan Pancasila, karena tergila-gila oleh nafsu kekuasaan. Tiga mahasiswa Bandung ini pun memasang baliho Pancagila. Baliho dipasang di depan sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), Jl Merdeka Bandung.
Dipasang didepan Sekretariat PMB, Jl. Merdeka No 7 Bandung
16 Juni 2011

Pembagian Sembako tahun 1998, di Sekretariat PMB jl. Merdeka no 7 Bandung

Aktifitas Sosial bersama Gerakan Kemanusiaan Posko Jenggala, Asgar Jaya, BBC dan PMB
Mei 2011


Budi Hubudi PMB 1972



Kaos * TAK SUDI DIPIMPIN MANTAN NAPI KORU"PSSI" *
==========================



Minggu, 06 Maret 2011

Iwan Abdulrachman PMB 1965

Mendengarkan Abah Iwan

Oleh Priyantono Oemar

----

Di rubrik ini, berkali-kita kali menikmati alam, pegunungan, dan kafe. Bolehlah kali ini kita menikmati pesan-pesan dari orang yang biasa ke gunung. Menyimak lagunya, menyimak pesannya. Lagu dan pesan yang diberikan oleh Iwan Abdulrahman, akrab dipanggil Abah Iwan.

------

Menyimak omongan Abah Iwan (63 tahun), kita bisa memahami tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu menegur orang yang tidur ketika ia sedang berpidato. Ngobrol santai sebelum pentas ‘’Dongeng Kebangsaan’’, Abah Iwan berbicara tentang pengendalian diri dan kekuatan mendengarkan.

Salah satu latihan pengendalian diri adalah menahan menguap ketika orang lain sedang berbicara. Menguap saja tidak dianjurkan, apalagi tidur. Di militer, Yudhoyono tentu mendapat pelatihan nahan nguap itu.

‘’Nahan nguap? Bisa?’’ tanya saya.

‘’Bisa. Meski air mata sampai keluar,’’ jawab Abah Iwan.

Menurut dia, bahkan menutup mulut saat menguap pun tak diperbolehkan. Jadi, harus benar-benar menahan untuk tidak menguap. Posisi mulut meski tertutup, tapi kalau ada gerakan rahang ke bawah, juga tidak diperkenankan. Benar-benar harus menahan menguap dengan posisi mulut tidak sedang menguap atau menahan menguap.

Ketika hendak menguap, udara tetap disalurkan melalui hidung, tidak melalui mulut. Menahan menguap adalah salah satu cara menghormati orang yang sedang berbicara di hadapan kita.

Isi omongan itu, ia ulang di depan para peserta pelatihan kepemimpinan yang diadakan Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) lewat ‘’Dongeng Kebangsaan’’. ‘’Kita harus bisa mengendalikan diri di saat alam mengajak terhanyut. Itu yang disebut pemimpin,’’ ujar Abah Iwan.

Tidak hanyut, juga ditekankan Abah Iwan saat ia mengajak berlatih mendengarkan. Ia memutar lagu ‘’Spanish Harlem’’-nya Ben E King.

‘’Coba dengarkan,’’ pinta dia. ‘’Ada bas,’’ lanjutnya. ‘’Jangan hanyut pada lagunya.’’ Mengikuti terus alunan lagu, ia kemudian menyebut satu per satu suara yang ada di lagu itu.

Ia mendapat pelatihan mendengarkan saat mengikuti pelatihan Long Range Patrol di Long Range Patrol School Alabama, Amerika Serikat, pada 1986, bersama tentara dari berbagai negara. Setelah mendengarkan lagu, peserta latihan Long Range Patrol diminta ke luar untuk mendengarkan suara angin.

Iwan menyebut berlatih mendengar adalah hal yang sangat diperlukan. Dengan mendengar, kita bisa mendapat banyak hal. Karena, dengan mendengar, kita tidak fokus pada diri kita, melainkan fokus pada yang berada di luar diri kita. ‘’Latihan mendengarkan adalah mengendalikan diri sendiri. Ada trickle down effect pada mental kita,’’ ujar dia.

Perhatikan orang lain

Suka mendaki gunung, Abah Iwan tentu sudah banyak belajar mendengarkan dan mengendalikan diri. Ketika ia di rig pada 1984 misalnya, ia bisa mendengarkan burung camar bernyanyi gembira di atas laut lepas. Di langit burung camar bergembira, di lautan, nelayan nelangsa.

Anggota Wanadri ini bercerita tentang banyaknya makanan di rig yang tak selalu habis dimakan. Tapi, pekerja tak boleh membawanya dari ruang makan. Makanan tak habis, aturannya harus dibuang, tapi di ujung lautan, terlihat perahu nelayan sendirian ditemani sepi selama tiga malam dan tanpa makan yang berkecukupan. Ia pun menyanyi.

Tiba-tiba ‘ku tertegun lubuk hatiku tersentuh

Perahu kecil terayun nelayan tua di sana

Tiga malam bulan t’lah menghilang

Langit sepi walau tak bermega

Ironi ini dicatat Abah Iwan dalam syair lagu ‘’Burung Camar’’. Musiknya digarap oleh Aryono Huboyo Djati, kemudian oleh Vina Panduwinata dinyanyikan di festival di Tokyo pada 1985. Menang.

Burung camar, tinggi melayang

bersahutan di balik awan

Kini membawa anganku yang tadi melayang

Jatuh dia dekat di kakiku

Ironi yang masih ada di sekitar kita. ‘’Kalian di sini berlatih kepemimpinan, 100 meter dari sini, di luar sana, banyak yang tak punya makanan,’’ kata Abah Iwan di sela nyanyiannya. ‘’Ayah saya bilang, Iwan jangan khawatir. Rakyat kecil kita sudah teruji oleh zaman. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan mereka. Yang menyedihkan buat mereka, tak ada yang teringat kepada mereka,’’ tutur dia.

Karenanya, Abah Iwan mengingatkan, agar selalu memerhatikan orang lain. ‘’Kalau kalian hanya mementingkan diri sendiri, jangan jadi pemimpin, karena itu akan menyengsarakan bangsa,’’ kata dia.

Kuberjuang penuh tekad demi nusa dan bangsa.

Ia menyanyikan ‘’Balada Kelana’’, lagu yang ia buat di Gunung Burangrang pada 1964, sewaktu masih di bangku SMA. Lagu ini pernah ia nyanyikan di hadapan taruna Akabri pada 1973, setelah terjadi konflik taruna dan mahasiswa. ‘’Perpecahan bangsa dimulai dari perpecahan generasi muda,’’ kata Abah Iwan.

Polisi Bandung saat itu rajin merazia celana ketat. Ketemu mahasiswa bercelana ketat polisi akan mengguting celana itu. Ketegangan pun terjadi, sehingga diadakan pertandingan persahabatan sepak bola antara mahasiswa dan taruna polisi di kampus ITB.

Mahasiswa memenuhi area dekat gawang yang dijaga taruna polisi. Seorang mahasiswa bawa gunting rumput, dan selalu memeragakan ingin menggunting celana.

Saat bola yang ditendang mahasiswa tak masuk ke gawang taruna, seorang mahasiswa mengambil bola itu, dan melemparkannya ke gawang. ‘’Gooooooolllllllll.’’ Mahasiswa pun bersorak girang.

Maka, pecahlah perkelahian pada 6 Oktober 1970 itu. Seorang mahasiswa tewas tertembak. Atas undangan Gubernur Akabri Sarwo Edhi Wibowo, Abah Iwan menyanyikan ‘’Balada Kelana’’ di hadapan para taruna. Salah satu tarunanya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh Abah Iwan, ‘kelana’ diganti ‘taruna’.

Hai kelana tabahkan hatimu

Tuhan slalu besertamu

Abah Iwan pun teringat orang-orang yang pernah dipenjara di masa perjuangan kemerdekaan. Tak ada yang bisa menghadang cita-cita mereka.

Kudambakan jiwaku padamu oh Tuhanku

Kuberdoa sepenuh hati smoga tercapai tujuanku

’’Yang dibutuhkan bangsa ini adalah semangatnya,’’ ujar Abah Iwan. Maka, ia pun masih bersemangat mendaki. Pada 2010, ia membawa menaiki tebing ratusan meter untuk mencapai puncak Cartenz di Papua. Ia menyanyi di ketinggian 4.000-an meter dengan pasokan udara yang tipis.

‘’Menyanyi di gunung itu gampang. Yang susah adalah membawa gitarnya, perlu dukungan teman-teman,’’ ujar Abah Iwan. Ia juga pernah menyanyi di puncak Kilimanjaro. Puncak tempat Nyerere menggantungkan cita-citanya.

‘’Kami bangsa Afrika bercita-cita ingin menyalakan lilin kecil nun jauh di puncak Kilimanjaro. Lilin yang nyalanya akan menembus batas-batas tanah ini. Yang akan menyalakan cinta manakala kebencian sudah hadir di bangsa ini, manakala, martabat telah tercabik-cabik dari bangsa ini,’’ tutur Abah Iwan mengutip Julius Nyerere.

Saat memproklamasikan Tanganyika pada 1961 (kemudian berubah menjadi Tanzania), Nyerere mengucapkan kalimat ini: We will light candle on top of Mount Kilimanjaro which will shine beyond our borders, giving hope where there is despair, love where there is hate, and dignity where before there was only humiliation.

Menjaga semangat

Menurut Abah Iwan, di puncak Kilimanjaro angin sangat besar dan kencang. Oksigen sangat tipis. Tapi, Nyerere membakar semangat rakyatnya dengan cita-cita menyalakan lilin di spuncak Kilimanjaro. Yang dibutuhkan negara kita, menurut Abah Iwan, bukan lagi lilin kecil. Melainkan matahari. ‘’Kita harus menyalakan matahari di dalam hati kita, karena kebencian di kita sekarang melebihi kebencian di Afrika pada tahun itu,’’ tegas dia. Ia pun menyanyikan ‘’Mentari’’.

Mentari bernyala di sini

Di sini di dalam hatiku

Tapi, hidup tak selamanya matahari terbit untuk ita. Ada malam, saat bintang akan ditunggu-tunggu. Tak ada matahari, bintang pun jadi. Petikan gitar pun beralih ke irama lagu ‘’Melati dari Jayagiri’’ yang ia tulis pada Maret 1968.

Mentari kelak kan tenggelam

Gelap kan datang dingin mencekam

Harapanku bintang kan terang

Memberi sinar dalam hatiku

Kita, menurut Abah Iwan, harus menjadi orang yang berarti. Pedulu pada martabat orang lain. ‘’Jika hanya sayang pada martabat diri sendiri, saudara akan mati. Dianggap sebagai pembohong. Pemimpin harus punya kasih sayang pada orang lain,’’ tutur dia.

Anak muda, menurut Abah Iwan, sudah seharusnya memiliki human skill dan environment skill, selain berfisik sehat dan memiliki pengetahuan. ‘’Saya bukan pemimpin, tapi semoga apa yang saya sampaikan ini berguna,’’ ujar Abah Iwan.

Artikel ini lengkapnya ada di Republika, Sabtu 16 April 2011