Rabu, 05 November 2008

Mari Tanam Pohon!

Monday, 24 November 2008

HA IPB - Mereka berangkat ke Ciwidey, Kabupaten Bandung, Ahad (26/10) siang. Para mahasiswa yang tergabung di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) dan BEM se-Bandung Raya itu hendak menjalankan program 'tinggal di desa'. ''Selama di desa, kami melakukan beberapa kegiatan bersama penduduk, di antaranya adalah menanam pohon,'' jelas Nurma Indirani, anggota PMB.
''Selama di desa itu, kami merasa menjadi warga, bersosialisasi dengan penduduk, menanam pohon bersama-sama,'' ujar Anwar Sanusi, anggota PMB yang kebagian menjadi penanggung jawab penanaman pohon di salah satu desa.
Program 'tinggal di desa' adalah bagian dari upaya generasi muda ini melatih diri menjadi pemimpin. ''Berbaur dan bekerja bersama penduduk, kami berharap bisa menangkap ruh kebutuhan rakyat,'' ujar Anwar.
Selama di desa, mereka merencanakan kegiatan dan meralisasikannya dengan mengerahkan penduduk. Untuk program tanam pohon, desa menyediakan lima hektare lahan desa yang kosong untuk ditanami pohon buah-buahan. Tanaman keras lainnya ditanam di pinggir jalan. ''Kami memberikan pula pupuk dan biaya perawatan, agar pohon-pohon itu tidak meranggas sebelum tumbuh,'' ujar Anwar.
Biaya perawatan itu pula yang harus disediakan oleh para pengadopsi pohon. Lewat gerakan adopsi pohon, banyak tokoh yang ikut mengadopsi pohon, dengan biaya perawatan Rp 3.000 per bulan. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tercatat sebagai pengadopsi pohon.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Conservation International Indonesia (CII) menggunakan istilah adopsi pohon sejak 2007. Maknanya adalah setiap orang atau perusahaan dengan menyisihkan sebagian uangnya untuk merawat sebatang pohon atau lebih agar dapat tumbuh besar sehingga mampu meremajakan kembali lahan-lahan kritis. "Kebanyakan dari dulu program penghijauan hanya selesai sampai proses tanam saja lalu dibiarkan tanpa tahun pohon itu hidup atau mati. Tapi bagi kami, sesuai kata adopsi, kami berusaha merawat pohon itu agar bisa hidup dan tumbuh," jelas Anton Ario, wakil manajer Program Gede Pahala (Gunung Gede, Pangrango, Halimun, dan Salak) CII.
Untuk meremajakan kembali lahan 7.000 hektare di Taman Nasional Gunung Gede, pada 2008, CII dan berbagai instansi yang tergabung dalam konsorsium Gede Pahala mengundang pribadi atau lembaga untuk ikut dalam progam adopsi pohon. Satu hektare lahan akan ditanami sebanyak 400 pohon dengan jangka waktu adopsi selama tiga tahun.

Lewat Komunitas Merah Putih, Syaifuddin Zuhri menanami lahan miliknya di lereng Gunung Panderman, Batu, Jawa Timur, dengan berbagai pohon, yang melibatkan banyak pihak. Pohon-pohon yang disiapkan untuk ditanam itu adalah jenis pohon beringin, belibis, dan kelapa. Ia menamai pohon-pohon ini sebagai 'Pohon Kebijakan'.
''Kami sudah menyiapkan 20 ribu bibit pohon beringin, belibis, dan satu pohon kelapa. Semua itu akan ditanam di kawasan tersebut yang sudah tertanami pohon sebanyak 2.351 pohon. Pohon-pohon itu nantinya akan membesar dan menyatu. Sehingga, menjadi kawasan khusus rerimbunan pohon beringin dan belibis serta satu pohon kepala,'' papar ayah dari dua anak ini.
Pada 2002, 99 perwakilan Komunitas Merah Putih Malang Raya, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera, Sabang, Jakarta, dan beberapa daerah di Jatim, secara simbolis juga telah memulai penanaman satu pohon kelapa, 17 pohon beringin, dan 17 pohon belibis. ''Kami memilih jenis pohon tersebut, karena memiliki nilai sejarah. Raja-raja di Indonesia dulu menanam pohon beringin dan belibis itu di sekitar kerajaan dan sumber mata air. Makanya, lewat gerakan menanam 'Pohon Kebijakan' ini kami ingin mengampanyekan gerakan penghijauan demi menjaga sumber mata air di lereng Gunung Panderman,'' jelas dia.

Sumber : Republika Online

Selasa, 04 November 2008

Reuni 1 Nov 2008


Koleksi Raja Bulu 70
Koleksi Aeng 07

Dari sebuah pesta timbul "energi" (Koleksi Yoni 89)


Mantan pejabat senat
(Syamsu Amril PMB 69, Priyantono Oemar PMB 89, Syahban Dharsono PMB 1988 dan Adolf R PMB 1988)
Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS)

Erna Witoelar PMB 65 + Rachmat Witoelar PMB 61

3 Diva bersama managernya (Ruddy Djamil PMB 67)
(Semua koleksi Harris 87)

Minggu, 02 November 2008

Dari Arsip TEMPO


04 JUNI 1983
"Ahoi" Itu Kini Sepi

"AHOI" Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) tak lagi banyak terdengar kini. Salam khas itu menyurut bersama pudarnya pamor organisasi mahasiswa ekstrauniversitas yang lokal sifatnya. Meski di kertas anggota Imada tetap ribuan, 2.600 orang, pertemuan akhir-akhir ini hanya dihadiri sekitar 20 anggota. Bahkan pelantikan angota 8 Mei lalu terpaksa dibatalkan.
Selain dana tak lagi terkumpul sesuai target, para calon anggota sendiri dianggap kurang memenuhi syarat. Itu di Jakarta. Di kota mahasiswa yang lain, ternyata panorama organisasi mahasiswa lokal kurang lebih sama. Kantor Imaba (Ikatan Mahasiswa Bandung), sudah lebih empat bulan pintunya tak pernah dibuka. Imayo (Ikatan Mahasiswa Yogyakarta) tak lagi terdengar kabar beritanya, pun kantornya tak diketahui di mana. Dan GMS (Gerakan Mahasiswa Surabaya), tak jelas apakah masih bernapas. Padahal dulu, organisasi mahasiswa yang lokal ,sifatnya merupakan pilihan lain bagi mahasiswa. Ialah, bagi mereka yang tak suka organisasi ekstra yang mempunyai hubungan dengan partai tertentu, atau dengan agama tertentu. Dulu ada kesan, organisasi mahasiswa yang lokal lebih mengarahkan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat "sosial budaya". Sementara organisasi ekstra seperti GMNI, GMKI, PMKRI, dan HMI lebih menekankan kegiatannya untuk hal-hal yang bersifat "sosial politik". Itulah, Imada yang berdiri pada 1955 pernah diejek sebagai Ikatan Mahasiswa Dansa. Ini dikatakan sendiri oleh salah seorang pendirinya, Prof. Dr. Awaloeddin Djamin, bekas Kapolri, pada ulang tahun Imada ke-25, 1980 yang lalu.
Di Bandung yang tampak masih bernapas adalah CSB (Corpus Studiosorum Bandungense), organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, yang tak banyak anggotanya. Di sini bekas Presiden Soekarno pernah mengasah keterampilan berpidato dan berdiskusi. Organisasi yang didirikan oleh beberapa mahasiswa Technische Hoogeshool, Bandung -- yang kini menjadi ITB itu -- pada 1920, bertujuan mengadakan ajang "belajar bersama". Dan ciri-ciri CSB tetap dipertahankan hingga sekarang. Misalnya, istilah kepengurusan di sini tetap memakai nama Latin: Senatus Veteranorum (pengurus), Praeses (ketua), Ab-actis (sekretaris), Quaestor (bendahara). Perploncoan anggota (novitiatus, istilahnya) pun cukup unik. Misalnya yang diadakan Juli tahun lalu, yang berlangsung du minggu. Selama itu para calon, konon, diberikan pelajaran tentang "hidup". Caranya, pada hari pertama novitiatus sang Praeses bilang: "Hari ini hak kalian sebagai manusia kami cabut." Maka para senior akan berlaku sewenang-wenang terhadap mereka yang "bukan manusia" itu lagi. Para calon anggota itu dibohongi, disuruh ini itu, disuruh melakukan hal-hal yang "busuk", misalnya berpidato di got yang kotor dan bau. Di samping, ada rapat, ada diskusi, ada pertandinan olah raga. Toh acara yang unik itu pun tak cukup kuat menarik para mahasiswa mendaftar ke CSB. Sejak 1977 rata-rata hanya 25 mahasiswa mendaftar -- sebelumnya paling sial ada 60 orang.
Yang agak banyak menerima anggota tiap tahunnya ialah PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung). "Rata-rata 50 mahasiswa masuk organisasi kami," kata Rully Panggabean, mahasiswa Fak. Hukum Universitas Parahiangan, ketua PMB kini. Tapi entah mengapa tahun lalu PMB tidak mengadakan penerimaan anggota baru. Lalu Damas (Daya Mahasiswa Sunda), yang dibentuk pada 1956. Organisasi ini mempunyai cabang di luar kota Bandung, antara lain di Bogor dan Jakarta. Di Bandung, kini tercatat sekitar dua ribu anggota. Yang lucu, anggotanya tak hanya berasal dari suku Sunda, tapi juga Batak, Ambon, dan WNI keturunan Cina. "Pokoknya siapa saja boleh masuk, dengan syarat mencintai seni budaya Sunda," kata Harianto, ketua Damas cabang Bandung. Kegiatannya? Ya, terutama berkisar soal-soal seni budaya Sunda itulah. Jadi mengapa kini organisasi mahasiswa lokal pun sepi -- bahkan beberapa organisasi tidak membuka pendaftaran baru tahun lalu? Ada yang melontarkan pendapat, itu karena pengaruh organisasi mahasiswa ekstra, termasuk yang lokal, tak lagi terasa di kampus. Dari segi lain, Harianto, ketua Damas Bandung, melihat bahwa "mahasiswa sekarang ingin bebas dari segala ikatan, yang mereka pikirkan cuma ingin cepat selesai kuliah." Sinyalemen ini agaknya tak terlalu meleset. "Yang penting belajar dulu sampai lulus," kata Vivi Prihandayani, mahasiswa Fak. Psikologi UGM, yang menolak masuk organisasi mahasiswa ekstra apa pun. Memang, peraturan akademik tampaknya semakin ketat. Mahasiswa diharuskan menyelesaikan kuliah dalam waktu tertentu. Tak lagi dikenal istilah "mahasiswa abadi." Kini, bila mahasiswa tak selesai kuiah dalam batas waktu tertentu, harus keluar. Soalnya kini, benar perlukah organisasi mahasiswa lokal dihidupkan? Endah Purnama Sari, mahasiswa Fak. Sastra Unpad, anggota CSB, khawatir, "jangan-jangan nanti semua organisasi mahasiswa ekstra harus berlindung di bawah KNPI." Harap dicatat, Endah ini juga pengurus KNPI Kodya Bandung sebagai wakil Seksi Koperasi dan Wiraswasta. Padahal, "bagaimana berorganisasi yang baik, bagaimana berdiskusi yang baik, paling tidak bisa dikembarkan dalam organisasi lokal itu," kata Harianto dari Damas, Bandung.

1 November 2008 dalam foto




Perhimpunan Mahasiswa Bandung 1970 + PPAB 1970

(koleksi RH 70)