Rabu, 25 Agustus 2010

Oetarjo Diran

sumber : http://www.aerospaceitb.org/?p=125

Oleh Oetarjo Diran *)

Email ini ditulis untuk membalas pernyataan Pak Widjaja Sekar tentang prestasi Pak Diran, sebagai salah satu pelopor aerodinamika transonik, di Eropa.

Sorry akan mengambil waktu anda. Namun, email anda mengembalikan saya pada masa muda kira-kira 40 hingga 50 tahun yang lalu, ketika saya bermukim di Dritterheimat, yakni Jerman. Zweiter heimat adalah Nederland, Erster heimat adalah Indonesia.

Ya, saya ingat pada waktu itu saya baru tiba di Jerman bulan Desember 1968. Sebagai orang yang sudah sepuluh tahun di Indonesia, saya harus bekerja agak keras untuk membuktikan bahwa saya masih dapat berprestasi melawan kompetisi profesional Jerman yang pada umumnya jauh lebih muda dan baru lulus dari universitas. Pada umumnya pengetahuan dan kemampuan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang sepuluh tahun hidup sebagai dosen (dan peneliti?) di Indonesia, yang ketika itu tidak kondusif untuk pengembangan profesionalismenya. Dus, saya harus membuktikan dan menghasilkan apa yang diharapkan perusahaan dari saya. Saya ditempatkan dalam kelompok aerodinamika teoretikal di Blohm-und-Voss, dekat sungai Elba yang tertutup es pada bulan-bulan musim dingin.

Teman-teman di bidang aerodinamika pesawat udara ternyata masih mempergunakan metoda pendekatan yang kebetulan saya masih fahami dan kuasai. Namun, saya belum memiliki pengalaman menerapkan langsung dalam aeronautika aerodinamika industri. Saya beruntung bekerja dibawah Dr Seeler, seumuran saya, yang mengerti kesulitan yang saya hadapi. Dr Seeler memberi kesempatan saya untuk melakukan penelitian apa saja yang saya nilai berguna untuk program Messerschitt-Boelkow-Blohm, Gmbh saat itu. (MBB, perusahaan merger Messerschmitt, Boelkow, dan Blohm). Perlu dicatat bahwa saat itu ada program internasional, antara Jerman, Inggris dan Perancis untuk membuat pesawat Airbus 300.

Saya amati bahwa pada umumnya teman-teman di sana tidak terlalu banyak membaca jurnal-jurnal dalam bahasa Inggris. Dus, untuk tidak secara konfrotatif melawan teman-teman Jerman dalam bidang-bidang yang mereka kuasai, saya masuk ke perpustakaan selama kurang lebih satu bulan untuk membaca semua jurnal dari luar Jerman (USA, Perancis, Inggeris dan Belanda). Saya menemukan bahwa industri penerbangan Jerman belum melakukan atau belum tertarik pada studi atau aplikasi ilmu-ilmu profil transonik and sayap, khususnya shock-free transonic profiles
(profil transonik bebas kejut) atau supercritical profiles (profil superkritis). Setelah kurang lebih satu bulan saya kembali ke Dr Seeler dengan proposal membuat program numerik perancangan 2-D supercritical profiles yang makalah ilmiahnya dikembangan oleh seorang Amerika (maaf lupa namanya dan dalam saya tidak dapat temukan dalam gudang dokumentasi saya).

Pada saat itu MBB sedang tergiur memanfaatkan komputer besar yang masih menggunakan computer input cards di jaman komputer ‘Jurassic’. Proposal proyek saya diterima, dana riset dicarikan dan sisanya adalah sejarah.

Saya memperoleh sejumlah profil 2-D secara numerikal yang dibuktikan memang tidak menghasilkan gelombang kejut transonik pada saat mendekati Mach 1. Perlu dicatat bahwa pada saat itu profil transonik tidak dapat dirancang secara kontinu dengan perubahan parameter profil (sudut ekor, bentuk lengkung, ketebalan, diameter hidung). Solusi
hanya dapat diperoleh dengan menemukan kombinasi yang tepat dengan pengamatan dan pendekatan rasional. Saya sangat beruntung dapat menemukan sejumlah profil superkritis yang kemudian dipergunakan MBB dalam program perancangan sayap Airbus A300. Kemudian, saya diberi tanggungjawab menjadi kepala bagian aerodinamika transonik yang pertama kali dibentuk di MBB di Hamburg. Sebagai kepala kelompok ini saya sangat beruntung diikutsertakan dalam tim perancangan pesawat Airbus A300, meskipun desain yang terpilih bukan desain Jerman tetapi desain Inggris.

Kemudian saya ditantang lagi oleh Dr Seeler untuk mempelajari apa yang dilakukan kelompok Dr Habibie (yang sedang mengembangkan metoda finite element method) disamping memimpin kelompok saya mengembangkan finite
element method untuk konfigurasi subsonik 3-D, khususnya sayap. Dr Seeler memberikan satu makalah dari USA yang dibuat oleh A.M.O. Smith, dan satu makalah seminar dari J. Slooff (dari NLR Belanda, yang kemudian menjadi teman dekat saya, dan menjadi pembimbing Dr Bambang I. Sumarwoto beberapa dekade kemudian).

Program ini adalah apa yang dikenal sebagai finite panel method, berdasarkan atas algoritma yang sederhana and elegan. Perlu dicatat bahwa program-program ini sangat dirahasiakan oleh masing-masing perusahaan karena persaingan. Namun Slooff dan saya bermufakat untuk berfikir sebagai ilmuwan, dan melakukan pertukaran fikiran melalui masalah optimisasi algoritma program. Saya akui bahwa saya lebih banyak memperoleh ilmu dari Slooff daripada sebaliknya. Program yang saya kembangkan tidak selincah program Slooff, tetapi program itu merupakan dasar keputusan MBB untuk mengembangkannya juga. Alasan khususnya karena saat itu perang di Vietnam memerlukan perhitungan-perhitungan aerodinamika pesawat yang rusak (berlubang-lubang karena ledakan tembakan anti-aircraft dari Vietcong). Program MBB sangat rahasia, dan ketika sukses, hasilnya diserahkan kepada NATO. Saya kehilangan kontak karena saya tidak memiliki security level yang cukup tinggi.

Perlu dicatat bahwa saya membawa pulang algoritma dan hasil cetak Program 3-D finite panel methods yang kemudian terus dikembangkan dalam rangka tugas sarjana. Program komputer ini pertama kali dikerjakan oleh (almarhum) Profesor Said D. Jenie. Beliau mengalami kesulitan karena keterbatasan komputer IBM yang dimiliki ITB saat itu.
Hal ini memerlukan intervensi saya, dan saya kemudian membangun kerjasama dengan IBM Jakarta dan Pertamina supaya akhirnya Pak Said dapat menyelesaikan program komputer dan studinya. Untuk itu Said Jenie terpaksa pulang pergi Jakarta – Bandung untuk memakai komputer IBM dan Pertamina.

Pada akhir tahun 70an, tongkat estafet saya serahkan kepada Ir Jusman SD (bekas Dirut Garuda) dan Ir Agung Nugroho (bekas Direktur Teknologi IPTN) yang juga berhasil lulus dari cengkeraman studi teknik penerbangan dengan penyelesaian program finite panel method 3-D dinamakan program Jusman-Agung. Program Jusman-Agung ini dipergunakan dalam perancangan pesawat CN235. Bahkan karena ada ketentuan risk
sharing contract dengan CASA Spanyol maka program Jusman-Nugroho ini ”diekspor” ke CASA Spanyol.

Yang masih saya sayangkan adalah tidak ada lagi pengembangan finite panel method ini untuk viscous subsonic flows yang saya baca dari paper-paper akhir-akhir ini. Mungkin peluang pengembangannya akan ada dengan dikembangkannya pesawat 19 penumpang di PTDI?

Waktu itu sudah tahun 1972 dan istri saya mulai mendeteksi perasaan gelisah dalam diri saya. Beliau menanyakan apakah saya merasakan heimweh (rindu kampung halaman). Saya tidak sadar akan perubahan sikap saya tadi. Namun, mungkin saya hanya merasa bersalah melawan tiga kriteria saya sebagai dosen PNS: tiga id, yaitu ikatan dinas, idealist, idiot atau kombinasi dari ketiga id tadi.

Akhirnya saya kembali ke kampus (belum ada laptop saat itu!). Tetapi itu adalah cerita lain.

Maaf atas kesabaran anda bila anda sampai pada kalimat terakhir ini, dan waktu berharga yang anda habiskan hanya untuk nostalgia warga, eks-PNS, eks-dosen ITB yang sekarang bermukim di desa metropolitan (Jakarta) yang berhasrat menjadi international “car-and-water flooded” metropolitan.

Jakarta, 24 Agustus 2010

*) Prof. H. Oetarjo Diran, Vi. adalah guru besar Teknik Penerbangan
ITB, mantan ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
*) Anggota PMB angkatan 1952

ke Panti Asuhan Ramadhan


Diakhiri dengan buka bersama

Bingkisan untuk Panti Asuhan

Bingkisan untuk Panti Asuhan

Bingkisan untuk Panti Asuhan

Foto bareng dengan anak-anak Panti Asuhan

Keliling 15 Panti Asuhan di Bandung

Senin, 09 Agustus 2010

Forum Indonesia Sejahtera

Seputar Nusantara. 19 Juli 2010.


FIS ( Forum Indonesia Sejahtera ) mengusulkan kepada Presiden SBY, DPR dan DPD RI, untuk segera menghapuskan otonomi ditingkat Kabupaten dan memberlakukan otonomi hanya di tingkat Propinsi dan kota- kota yang mampu membiayai dirinya sendiri. Usulan FIS ini merupakan alternatif atas wacana yang menginginkan Gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden dan atau dipilih oleh DPRD Propinsi. ” Menjadikan Gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden dan atau dipilih oleh DPRD Propinsi, menurut pendapat kami tidak akan menyelesaikan akar permasalahan otonomi kita,” kata Ketua Presidium FIS Hendarmin Ranadireksa didampingi beberapa anggota Presidium Forum itu di Jakarta, Senin 19 Juli 2010.Akar permasalahan otonomi daerah kita, menurut FIS, adalah gabungan antara mandulnya kekuasaan Gubernur yang wilayah kekuasaannya telah habis dibagikan kepada para Bupati, serta terlalu besarnya wewenang Bupati dalam mengatur Kabupatennya.

Salah satu akibatnya adalah demi mengejar PAD ( Pendapatan Asli Daerah ), pembangunan daerah berjalan “kebablasan” tanpa mempertimbangkan keterpaduan pembangunan intra- Propinsi, dan mengorbankan kelestarian lingkungan. Kekuasaan besar yang dimiliki oleh Bupati, telah pula melahirkan fenomena “Raja-Raja Kecil” yang meluaskan praktek kotor KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ) sampai ke tingkat Kabupaten.

Karena itu FIS mengusulkan solusi untuk mengatasi akar permasalahan Otonomi Daerah dengan memberlakukan otonomi hanya di tingkat Propinsi saja dan kota- kota yang mampu membiayai dirinya sendiri. Hal ini selain akan meluruskan tata kelola pemerintahan dan jalannya pembangunan, sekaligus akan mengakhiri pemborosan anggaran negara untuk mengongkosi banyak Pilkada di negara Indonesia.

Untuk diketahui, dalam setiap kurun waktu 5 tahun, di Indonesia berlangsung 373 Pilkada Bupati dan 373 Pileg DPRD Kabupaten, 87 Pilkada Walikota dan 87 Pileg DPRD Kota, serta 33 Pilkada Gubernur dan 33 Pileg DPRD tingkat Propinsi. Hal ini, menurut Organisasi FIS yang beranggotakan aktivis dari Jakarta- Bandung dan Surabaya itu, jelas merupakan pemborosan yang sangat sia- sia.

Pangkas Rantai Birokrasi

Lebih lanjut FIS mengajak masyarakat mempertimbangkan norma lazim di negara Demokrasi manapun di dunia ini, dimana otonomi hanya diberikan pada tingkat Propinsi ( atau negara bagian ) dan kota- kota yang dapat membiayai dirinya sendiri. Tujuannya : agar selain Propinsi dapat mengoptimalkan potensi wilayahnya (yang terdiri dari Kabupaten dan Kota), otonomi tersebut hendaknya menjadi bagian integral dari tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien dari pusat ke daerah.

Kemudian lanjut FIS, rantai Birokrasipun akan lebih pendek. Tidak seperti sekarang, calon investor yang ingin berbisnis di daerah harus menghadapi rantai perijinan panjang yang menghabiskan waktu dan biaya. Otonomi yang diberlakukan hanya di tingkat Propinsi, menurut FIS akan memangkas rantai Birokrasi yang selama ini panjang dan boros itu.

FIS sangat menyayangkan, pemerintah membutakan diri terhadap kekeliruan Otda yang menyebabkan fungsi Gubernur ter-eliminasi secara legal. Jika gagasan Gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden dan atau dipilih oleh DPRD Propinsi disetujui, FIS yakin pemerintahan Propinsi akan semakin memburuk dan taruhannya adalah kesejahteraan rakyat. Sekarang saja kendati telah dipilih rakyat langsung, Gubernur tidak dapat menjalankan fungsi yang semestinya, apalagi jika Gubernur tidak legitimate. Demikian Forum Indonesia Sejahtera ( FIS ) mengakhiri pernyataannya. ( Aziz )

Hendarmin Ranadireksa PMB 1962