Jumat, 12 Juni 2009

SOMAL 1965-2009

Oleh : Momok Sritomo W.Soebroto (GMS 70)
Sekretariat Bersama Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL) 12 Juni 1965 - 2009 - Shall We Return?

Banyak diantara kita barangkali yang tidak “ngeh” dengan kata atau istilah SOMAL ini. Sebuah nama yang tidak punya arti apa-apa untuk kondisi sekarang ini; tetapi sejarah politik kemahasiswaan pasti tidak pernah melupakannya. Khususnya bagi mereka yang pernah merasakan hiruk-pikuk dunia kemahasiswaan di saat-saat pertengahan tahun 1965. Ya, hampir 45 tahun yang lalu. Tepatnya 12 Juni 1965, saat dimana dunia kemahasiswaan mencatat berkumpulnya beberapa organisasi mahasiswa lokal seperti Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), Corpus Studiosorum Bandungense (CSB), Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), dan Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS) berkumpul dan mendeklarasikan terbentuknya Sekretariat Bersama Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Selanjutnya ikut bergabung juga Ikatan Mahasiswa Pontianak (IMAPON) dan Ikatan Mahasiswa Yogyakarta (IMAYO). Suasana politik saat itu benar-benar membuat organisasi mahasiswa lokal seperti Imada, PMB, GMS dan lain-lain merasa berkepentingan untuk berhimpun diri, membangun jaringan dan sekaligus kekuatan. Khususnya didasarkan pada kesamaan nasib dan kesamaan garis perjuangan dalam menjaga eksistensi masing-masing yang terancam pada saat politik dicanangkan sebagai panglima.

Tekanan dan suasana politik tahun 60-an benar-benar telah membuat dunia kemahasiswaan menjadi lebih dinamis, meskipun dalam berbagai kasus terus menyeret kampus dan mahasiswa untuk masuk dalam ranah politik praktis. GMS seperti halnya dengan organisasi mahasiswa lokal lain (SOMAL : PMB, CSB, IMADA, MMB, GMS, IMAPON dan IMAYO) yang awalnya lebih banyak bergulat dengan aktivitas seputar dunia kampus mulai menggeliat dan tidak mau ketinggalan didalam pergerakan/ perjuangan di jalanan. Meskipun berbagai seruan “back to campus” telah dikumandangkan sejak lama, namun tidak mudah untuk membawa kembali mereka yang sudah terlanjur menikmati dunia barunya. Ranah politik akhirnya telah memberikan alternatif sebagai pilihan “pengabdian” kepada nusa-bangsa-negara; selain dunia profesi yang terkait dengan bekal keilmuan yang digeluti para aktivis organisasi mahasiswa. Kita telah mencatat beberapa tokoh SOMAL yang pernah memberi warna khas dunia kemahasiswaan, maupun politik saat itu seperti Sarwono Kusumaatmadja (PMB), Rahmat Witoelar (PMB), Moestahid Astari (GMS), Awan Karmawan Burhan (CSB), Lilik Asdjudiredja (IMABA), Sjahrir (IMADA), Marsilam Simandjuntak (IMADA), Erna Walinono (PMB), Trimoelja Darmasetia Soerjadi (GMS), dll.

Adigum yang terkesan heroik “Student today is Leader tomorrow” sangat populer dan sering didengungkan oleh aktivis pergerakan mahasiswa tahun 60-an terus dijadikan sebagai sumber insipirasi bagaimana sebuah organisasi mahasiswa harus dilanggengkan eksistensinya. Sebuah slogan yang sungguh sangat efektif untuk membangkitkan semangat dalam merancang pola kaderisasi. Khususnya pada saat merekrut anggota dan menjaga bagaimana organisasi bisa tumbuh dan berkembang agar tetap survive. Networking yang sangat kuat dengan kawan-kawan yang pernah tergabung dalam SOMAL (PMB, CSB, IMADA, MMB, GMS, IMAPON dan IMAYO) dan dilandasi pula dengan nilai-nilai independensi, pluralisme, non-sektarian, dan lain-lain akan merupakan modal dasar yang sungguh masih sangat relevan dengan tantangan global yang harus dihadapi oleh bangsa sekarang ini. Hal tersebut bisa dijadikan “entry point” yang mampu memberikan daya tarik untuk melakukan revitalisasi dalam kerangka melanjutkan tradisi kepemimpinan SOMAL di dunia kemahasiswaan maupun politik nasional. Kapan lagi kita bisa berkumpul, membangun tali silatuhrahim dalam ikut memberi sumbangan pemikiran dan kontribusi bagi kejayaan almamater, nusa, bangsa dan NKRI.
Semoga Allah SWT memberikan ridhoNya kepada kita semua.

Senin, 01 Juni 2009

Jejak Presiden Soekarno




Lokasi sel yang dipakai memenjarakan Sukarno pada 1930 tak terawat dan berbau pesing. Minggu, 11 Juli 2009 pukul 01:50:00 http://www.republika.co.id

Merespons pengumuman, mereka berkumpul di Jl Merdeka 7 Bandung. Para mahasiswa awal itu hendak menelusuri jejak Sukarno muda, Ahad (21/6). Ada yang dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Unviversitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Pasundan (Unpas), dan Universitas Ilmu Komputer (Unikom).

Sebelum menyusuri jejak Sukarno (lahir pada 6 Juni 1901), mereka mencari informasi di buku-buku dan internet. Di antara peserta, banyak yang tak menyangka kalau sejarah kemerdekaan berangkat dari Bandung. ''Menyadari hal itu, kami pun mengajak anak-anak muda menyusuri jejak fisiknya di bulan Juni, bulan kelahiran Bung Karno,'' ujar Aeng Anwar Sanusi, ketua Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB).

Dari sekretariat PMB itu, mereka menuju ke Gedung Indonesia Menggugat (GIM) sembari membawa alat-alat kebersihan. ''Selama perjalanan kita harus memungut sampah yang kita temui,'' ajak Aeng, sebelum berangkat.

GIM yang menjadi sasaran pertama adalah gedung di Jl Perintis Kemerdekaan. Dulu bernama Gedung Landraad, tempat Sukarno muda disidang pada 1930, setelah ditahan oleh Belanda sekitar delapan bulan di penjara Banceuy. Di persidangan, ia memberikan pembelaan berjudul 'Indonesia Menggugat'.

''Kami berdiri di hadapan mahkamah tuan-tuan ini bukan sebagai Soekarno, Gatot Mangkoperadja, Maskoen atau Soepriadinata, kami orang berdiri di sini adalah sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh kesah sebagai putra-putri Indonesia yang setia dan bakti kepadanya,'' ujar Sukarno membacakan pledoinya, seperti dikutip Bob Hering dalam buku Soekarno Bapak Indonesia Merdeka.

Di GIM ini, para mahasiswa itu mendapat penjelasan soal dibuangnya Sukarno ke Ende setelah persidangan, karena dia dianggap berbahaya. ''Selama di Ende itulah, konon, Sukarno muda melihat daun sukun yang bercabang lima, yang kemudian menginspirasinya menemukan lima falsafah yang menjadi dasar negara,'' ujar Aeng.

Meja hakim masih dipertahankan di ruang sidang di gedung itu. Foto-foto Sukarno dan naskah-naskah kisah perjuangannya juga dipajang di dinding gedung yang sekarang jadi salah satu meeting point favorit di Bandung itu. Mantan gubernur Jawa Barat, Mashudi, yang mengusulkan pemanfaatan gedung itu sebagai tempat pertemuan publik. Ada pula kafe di sini. Sebelumnya, gedung ini dimanfaatkan sebagai kantor pemerintahan.

Selama delapan bulan ditahan sebelum disidang, Sukarno muda mengisi sel kecil di Banceuy. Ia mengisi sel nomor lima, yang keberadaannya sekarang masih dipertahankan di belakang Pertokoan Banceuy. Dari GIM, ke sinilah para mahasiswa itu menuju, melewati Viaduct dan Jl Banceuy.

Di lokasi sel berukuran 2,5 x 1,5 meter itu, mereka harus menahan bau pesing. Rupanya, banyak orang memilih kencing di sini --meski ada papan larangan 'Dilarang Kencing di Sini'-- karena tersembunyi dari pandangan umum. Gerobak-gerobak pedagang kaki lima menutup jalan masuk ke lokasi sel ini.

Karenanya, lingkungan tempat Sukarno ditahan sejak Desember 1929 hingga Agustus 1930 itu terlihat tak terawat. Sampah berserakan. Gerobak pengangkut sampah pun di parkir di sini. Bau psing dan lingkungan kotor, bisa membuat orang enggan lewat lokasi ini.

''Sedih rasanya melihat situs ini jadi tempat tumpukan sampah dan tempat kencing orang yang tak bertanggung jawab,'' ucap Nur Eni Lestari, mahasiswi Unpad angkatan 2006.

''Wah, gara-gara kurang ekspose nilai historisnya nih, situs sel ini jadi nggak terawat,'' timpal Rama Praditya, mahasiswa Unpas angkatan 2005.

Mereka kemudian bergegas membersihkan sampah, sebelum mengambil posisi berdiri di depan sel menyanyikan Indonesia Raya. Suasana tiba-tiba menjadi haru. Budi Tryaditia mengaku hampir meneteskan air mata karenanya. ''Saya baru ke sini sekali,'' ujar mahasiswa Unpad angkatan 2006 itu.

Budi mengaku ikut membersihkan area sel itu menjadi bentuk penghormatan untuk jasa Sukarno. Sel itu dikelilingi pagar besi yang sudah keropos. Ada dua tugu di dekatnya. Pot-pot bunga yang dimaksudkan untuk memperindah lokasi itu kini sudah hancur dan berantakan. Dua tiang bendera mengibarkan bendera merah putih yang sudah pudar warnanya.

Mereka sempat menerima penjelasan dari Ketua RW yang diberi tanggung jawab menjaga lokasi ini. Menurut dia, perawatan dari warga dilakukan dengan keterbatasan.

Usai di sel Sukarno, mereka menuju ke Gedung Merdeka, gedung tempat diadakannya Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digagas Sukarno. Sebelum tiba di Gedung Merdeka, mereka menyempatkan diri melihat Sumur Bandung di Gedung PLN, Cikapundung.

Juru kunci menjelaskan ke mereka, Sumur Bandung merupakan sumur yang muncul setelah Bupati Bandung, Wiranata Kusumah II ((1794-1829), menancapkan tongkatnya. Saat itu, daerah ini masih berupa hutan, yang kemudian oleh Daendels dibuatkan jalan raya di situ.

''Itu dilakukan sewaktu beliau beristirahat di sini dalam perjalanannya dari Subang menuju Dayeuhkolot,'' ujar sang juru kunci. Dayeuhkolot adalah ibu kota Kabupaten Bandung. Atas perintah Daendels, kemudian dipindah ke pinggir jalan raya yang baru dibangun Daendels dekat Sumur Bandung itu (sekarang bernama Jl Asia-Afrika).

Menyeberang jalan dari Gedung PLN, sampailah mereka di Gedung Merdeka. Pemandu wisata telah menunggu mereka, untuk menjelaskan hal-hal yang ingin mereka ketahui.

Selama di Gedung Merdeka, mereka mendapat penjelasan latar belakang penyelenggaraan KAA. Sesekali, lewat penjelasannya tentang KAA itu, staf museum itu mencoba membakar semangat para mahasiswa itu. Selama dua jam mereka di Gedung Merdeka, termasuk menonton film dokumenter KAA. Tapi, keinginan mereka masuk ke ruang bawah tanah tak terkabulkan, karena di hari libur, ruang bawah tanah di Gedung Merdeka ditutup.

Di Gedung Merdeka ini pula, mereka bertemu dengan Paguyuban Sepeda Ontel Bandung. ''Mereka mengajak melakukan city tour bersama untuk lokasi lain di lain hari,'' kata Aeng. pry