Senin, 17 Januari 2011

Adnan Buyung Nasution

DR Adnan Buyung Nasution (PMB 1954)

Si Abang, Advokat Lokomotif Demokrasi


Mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

Buyung lahir di Jakarta, 20 Juli 1934. Hidupnya cukup sarat dengan tantangan. Sejak kecil, umur dua belas tahun, Buyung bersama adik satu-satunya Samsi Nasution sudah harus menjadi pedagang kali lima menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda dalam Clash II pada 1947-1948. "Itu masa-masa sulit. Kami hanya makan tiwul, karena tak sanggup beli nasi," katanya seperti dikutip sebuah media cetak.

Sejak kecil, ia menjadikan ayahnya sebagai teladan. "Dia pejuang, caranya pun tidak pilih-pilih. Dia bergerilya membela Republik. Sikapnya jelas, antipenjajahan dalam bentuk apa pun," ujar Buyung tentang ayahnya. Kebanggaan Buyung tentu beralasan. Ayahnya memang sosok pejuang sejati: tidak hanya berjuang lewat gerilya, tetapi juga lewat informasi. Rahmad Nasution adalah salah seorang pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Dia pula yang merintis berdirnya harian berbahasa Inggris The Time of Indonesia. "Dia menjadi semacam tokoh buat saya," kata Buyung lagi.

Rupanya, Buyung juga tidak mau ketinggalan dari ayahnya dalam soal perjuangan. Ketika SMP di Yogyakarta, ia ikut Mopel (Mobilisasi Pelajar) dan melakukan aksi protes pendirian sekolah NICA di Yogyakarta. Ia ikut merusak sekolah dan melempari guru-guru sekolah tersebut.

Memang, sejak kecil, Buyung sudah kelihatan berbakat aktivis. Saat bersekolah di SMA Negeri I Jakarta, ia pun sudah menjadi Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Kemudian, ia mengundurkan diri dan membubarkan organisasi itu karena mulai terkena bau-bau PKI dan membawa-bawa nama International Union of Student (IUS) yang kekiri-kirian.

Lulus SMA, Buyung hijrah ke Bandung dan mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan Teknik Sipil. Di sana ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Tetapi ia hanya bertahan setahun di ITB, lalu pindah ke Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak lama di situ, pada 1957 ia pindah lagi ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Lulus sarjana muda, sambil meneruskan kuliah, ia bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Meski sudah menjadi jaksa, tetapi semangatnya sebagai aktivis tidak pudar. Ketika itu ia sempat mendirikan sekaligus menjadi Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ia juga menjadi anggota Komando Aksi Penggayangan Gestapu. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia ikut turun ke jalan sehingga diinterogasi oleh atasannya. Bahkan sempat dirumahkan selama satu setengah tahun alias diskorsing dari pekerjaannya sebagai jaksa. Ia tidak diberi pekerjaan dan tidak diberi meja di kantor. Buyung dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

Kemudian ia mendapat surat pindah tugas ke Manado. Lucunya, ia ditempatkan di Medan. Entah bagaimana, Buyung tidak srek dengan pemindahan itu. Akhirnya, pada 1968, Buyung meninggalkan baju jaksa. Selain itu, ia juga di-recall dari DPR/MPR. Sekitar setahun ia menganggur kemudian membentuk Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta. Untuk mendukung kerja LBH, Buyung membuka kantor pengacara (advokat). Sekali jalan, dua-duanya berkembang. Kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia. Sementara itu, LBH--kemudian menjadi YLBHI dan membawahi LBH-LBH--pun tumbuh besar dan kemudian dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

Soal pendirian LBH ini Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah saja menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. "Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang. Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka," katanya.

Tetapi niat itu dipendamnya. Kemudian, saat buyung kuliah Universitas Melbourne, Australia, ia melihat bahwa di negara itu ada Lembaga Bantuan Hukum. Itu membuat ia sadar bahwa bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Kemudian ia menyampaikan ide itu kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi ia menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saati itu memang belum mendukung gagasan tersebut.

Ia baru bisa merealisaskani idenya membentuk LBH setelah ia keluar dari Kejaksaan. Mula-mula gagasan itu dilontarkan kepada Profesor Sumitro dan Mochtar Lubis. Rupanya, Sumitro dan Mochtar cukup antusias mendukung ide itu. Namun, Sumitro menyarankan supaya Buyung membuka kantor advokat karena bagaimana pun Buyung harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sebelum Sumitro sempat membantu, dia keburu diangkat sebagai menteri perdagangan.

Selanjutnya, Buyung yang izin praktek advokatnya sempat dicabut itu menemui Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adjie untuk mengkonsultasikan ide itu. Rupanya pak menteri ini juga mendukung tapi menyarankan Buyung jadi advokat dulu supaya punya legalitas. Tanpa proses yang rumit, Buyung pun mendapatkan izin advokat, dan membuka kantor law firm. Tak lupa, ia juga mengajak beberapa temannya menjadi staf, seperti Nono Anwar Makarim, Mari'e Muhammad (bekas Menteri Keuangan). Kantor itu kemudian berkembang.

Kemudian, mulailah Buyung menyiapkan pendirian LBH. Ia mulai melakukan pendekatan dengan sejumlah advokat untuk mensosialisasi ide itu. Buyung tidak mau ada ganjalan untuk mewujudkan gagasannya. Soalnya, menurut Buyung, di beberapa negara LBH dimusuhi oleh para advokat. Tetapi syukur, ia tidak punya ganjalan apa-apa. Peserta Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), terutama Yap Thiam Hien dan Lukman Wiryadinata (bekas Menteri Kehakiman), mendukung penuh gagasan itu.

Buyung juga melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah. Ia menemui Ali Moertopo yang waktu itu menjadi asisten pribadi Presiden Soeharto dan menjelaskan ide itu seraya meminta ide itu disampaikan kepada Presiden, apakah presiden setuju atau tidak. Rupanya tak lama, ia dipanggil dan mendapat kabar bahwa Soeharto setuju dengan gagasan itu. Malah, ketika pembukaan LBH ia mendapat 10 skuter dari pemerintah.

Selain pemerintah pusat, Buyung juga mendekati pemerintah daerah DKI Jakarta. Ia menemui Ali Sadikin yang waktu itu menjadi gubernur. Rupanya, Ali juga satu suara dengan yang lain. Bahkan, yang mendukung bukan Ali sebagai pribadi, tetapi pemerintah daerah DKI Jakarta. Karena dukungan-dukungan itu, kemudian lahirlah LBH tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali.

Namun, ada satu hal yang tidak banyak diketahui dari si Abang ini, tak lain adalah namanya. Ternyata nama Buyung sebenarnya Adnan Bahrum Nasution. "Nama asli saya dalam akta kelahiran memang Adnan Bahrum Nasution," kata Buyung suatu kali kepada Kompas. Semasa kuliah, bahkan ketika menikah namanya masih tertulis Adnan Bahrum Nasution. Cuma memang ia tidak menulis lengkap namanya: Adnan Bahrum Nasution, tetapi Adnan B. Nasution.

Tetapi kawan-kawannya suka memanggilnya Buyung. Perekatan nama Buyung di tengah namanya itu terjadi ketika menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1964. Waktu itu petugas administrasi disana yang kerap mendengar sapaan Buyung terhadap si Abang, langsung saja menulis lengkap nama Adnan B. Nasution sebagai Adnan Buyung Nasution. Nama itulah yang kemudian dikenal banyak orang.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
sumber Tempointeraktif

PMB Reborn



=======
Tanda lulus Perploncoan tahun 1970



Kartu anggota PMB tahun 1950, masih PMIB (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia BandungI