Jumat, 24 Oktober 2008

Foto foto PMB

Foto lama anggota PMB tahun 1950 an
PMB 1990
PMB 1989
Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 75
(koleksi RH 70)
Para Jurig Sekre lagi diskusi

(koleksi Rizal 92)

Rabu, 22 Oktober 2008

Yani Rodyat-Panigoro

Tularkan Gaya Hidup Sehat kepada Pengusaha Kecil
Perhimpunan Mahasiswa Bandung Tahun 1971

Kepentingan keluarga membuat Ir Yani Rodyat-Panigoro MM meninggalkan dunia teknik elektronika. Padahal, kala itu ia sedang menikmati betul profesinya sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) Serpong. ''Setelah delapan tahun menjadi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada 1981 saya berhenti,'' kenang Yani.
Keputusan itu diambil Yani setelah Puspiptek pindah dari Bandung ke Serpong. Dua tahun lamanya Yani bolak-balik Serpong-Bandung untuk menjumpai keluarganya yang berdomisili di Kota Kembang itu. ''Betapapun, saya harus dekat dengan keluarga,'' tutur peneliti yang mendesain laboratorium instrumentasi elektronika berbasis mikrokomputer di Puspiptek.Kembali ke Bandung, Jawa Barat, Yani sempat menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi setempat. Tahun 1982, Yani pindah ke Surabaya mengikuti dinas suaminya, Rodyat Suprapto. ''Lima tahun di sana, saya mengajar di Institut Teknik Surabaya (ITS),'' kata perempuan kelahiran Bandung, 18 Juli 1951, ini.
Tahun 1987, Yani kembali ke Bandung. Yani yang tak punya pekerjaan memilih membuka usaha di bidang software komputer. ''Saya juga mengadakan pelatihan komputer,'' ucap Yani yang kemudian mengajar di almamaternya, Institut Teknologi Bandung (ITB).Tahun 1994, PT Sarana Jabar Ventura berdiri. Perusahaan modal ventura ini dirintis kakak Yani, Arifin Panigoro bersama Mar'ie Muhammad. ''Kami mencoba mendirikan perusahaan baru atau mengembangkan usaha kecil yang sudah ada menjadi lebih sehat,'' kenang Yani yang diminta menjadi presdir SJV.
Permintaan Arifin disanggupinya. Apalagi, selama di kampus, Yani kerap mendapat pertanyaan dari mahasiswanya tentang cara mendapatkan modal usaha. ''Klop banget jadinya,'' kata dia.Menjadi presdir SJV adalah pengalaman berkesan bagi Yani. Ia belajar banyak hal dari pertemuannya dengan para pengusaha kecil dan menengah di seantero Jawa Barat. Saat sedang asyik mengurusi perusahaan modal ventura, Arifin merangkul Yani bergabung di bidang operasional Medco Energi.
Di Medco, berarti Yani bergabung dengan keluarga. Sama halnya, ketika ia dulu bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), organisasi ekstrakampus yang juga dimasuki oleh dua kakaknya, Arifin Panigoro dan Dedi Panigoro, kemudian disusul pula oleh adik-adiknya, Hilmi Panigoro, Ramdhan Panigoro, dan Yunan Panigoro. Tapi, permintaan Arifin agar Yani membantu Medco, membuat Yani deg-degan. Ia khawatir tak mampu mengemban tugas. Bagaimana ia menyesuaikan diri? Berikut penuturannya kepada wartawan Republika, Reiny Dwinanda, dan fotografer Amin Madani, Rabu (29/10).

Selasa, 21 Oktober 2008

Henny Buftheim : Kami Keluar, Perjuangannya Berkurang

Anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung 1970

Puluhan tahun bergelut di lembaga swadaya masyarakat (LSM), Henny Buftheim setia dengan idealismenya. Sarjana Ilmu Jurnalistik dari Fakultas Publisistik (sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi), Universitas Padjadjaran, Bandung, ini tetap mengusung prinsip yang sama meski ia berpindah kerja dari satu LSM ke LSM lainnya. ''Jangan membuat orang bergantung pada pemberi dana. Pikirkan, kalau kami stop kasih dana, mereka bagaimana!'' ujar perempuan kelahiran Jakarta, 9 September 1951, ini.
Henny merealisasikan idealismenya dengan cara yang sangat masuk akal. Ia berupaya untuk tidak melulu memfokuskan bantuan pada pembangunan ekonomi masyarakat. ''Pembangunan sosialnya juga harus berjalan simultan,'' kata Henny yang Februari 2008 mengikhlaskan suaminya, Steven Wilbur, menghadap Sang Khalik.Kini, Henny sibuk sebagai team leader dari Social and Economic Recovery Program (SERAP). Program ini digulirkan oleh Canadian Co-operative Association (CCA) untuk warga pesisir di tiga wilayah di Bireuen, Aceh, yaitu Nagan Raya, Pidie, dan Samalanga, yang hancur akibat tsunami. Bersama CCA, Henny membantu 1.600 keluarga di 25 desa untuk membangun kembali kehidupannya hingga Maret 2009.
Selama ini, Henny dikenal sebagai spesialis di bidang social marketing. Ia telah merintisnya sejak mahasiswa dulu. Di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), ia memilih menjadi ketua bidang eksternal --yang mengurusi pengembangan jaringan kerja organisasi mahasiswa lokal di berbagai kota, pada periode 1973-1974. Kini, ia mengemban amanat sebagai advisor mobilisasi sosial di The Social Marketing Circle. Di tengah kesibukannya, penyakit misterius menyerang, merobohkan Henny. Sebulan lamanya Henny terbaring di sebuah rumah sakit di Singapura. ''Saya sedih memikirkan apa jadinya putri saya, Alyssa Wilbur, jika Allah SWT mengambil nyawa saya ketika itu. Di usia 16 tahun dia sudah kehilangan ayahnya,'' ujar Henny lirih.
Henny memang aktivis yang jam terbangnya tinggi. Suaminya juga aktivis semasa hidupnya. ''Tanpa disadari, Alyssa juga belajar tentang pembangunan ekonomi dan sosial serta perlindungan hutan, hal-hal yang saya perjuangkan selama ini. Saya tahu itu dari guru yang menilai presentasi lingkungan hidup Alyssa,'' kata perempuan asli Aceh ini.Selagi aktivitasnya belum begitu padat, Selasa (23/9). Henny menceritakan sepak terjangnya di dunia LSM. Berikut petikan penuturannya kepada wartawan Republika, Reiny Dwinanda, dan fotografer Amin Madani:

Selanjutnya kelik saja : http://republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/0/news_id/8651

Sejarah Sekretariat PMB

Tahun 1979
Tahun 1976


Alm. HRM Yogie SM adalah tokoh yang besar jasanya


Sekretariat Jalan Merdeka 7 adalah hadiah beliau kepada PMB.
Tahun 1968, Ketua Senat PMB, Nuril Yunus Singagerda (alm.), melanjutkan kepengurusan dari Senat 1967 yang diketuai oleh Rahmat Witoelar, dengan Sekretariat di Jalan Ciung Wanara, yang merupakan tanah kosong milik mertua dari Muslimin Nasution. Di tanah kosong itu, Senat 1967 membangun sebuah gubuk sederhana sebagai Sekretariat PMB. Tetapi tepat di akhir masa jabatan Senat 1967 itu, kaveling Jalan Ciung Wanara itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Sehingga Senat 1968 menjadi luntang-lantung tidak punya Sekretariat.
Ini bukan hal aneh, karena sebelumnya, selama 20 tahun, sejak 1948, semua Senat PMB juga tidak pernah punya Sekretariat, selalu menumpang di rumah siapa saja yang mau meminjamkan alamatnya sebagai alamat PMB.
Tetapi Nuril Yunus bertekad bahwa di tahun 1968 itu, ciri-ciri nomaden-nya PMB harus berakhir, dan sibuk lobby ke sana ke mari, mengusahakan alamat tetap bagi PMB.
Kebetulan, Ketua Seksi Keputrian Senat 1968, Herna Pruistina, adalah seorang aktivis mahasiswa yang luas akses-nya ke pejabat-pejabat pemda Jabar dan pemda Bandung. Beliau lalu membuka jalan bagi Ketua Senat untuk menemui Komandan Kodim Bandung, Letkol. Inf. Yogie Suardi Memet, yang di jaman itu sebagai pimpinan militer di suatu wilayah, besar sekali kekuasaannya, jauh lebih berkuasa dari Walikota. Antara lain, Komandan Kodim Bandung berkuasa atas bangunan-bangunan yang disita dalam rangka peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI di tahun 1965.
Dan dari Kodim Bandung itulah, pada tahun 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung mendapat gedung bekas sekolah Cina di Jalan Lembong yang kemudian diberi nama Gedung Julius Usman. Kemudian di tahun 1967, Resimen Mahasiswa Mahawarman mendapat gedung bekas Sekretariat CGMI (organisasi mahasiswa PKI) di Jalan Surapati yang sampai sekarang menjadi Skomen Mahawarman.
Nah, di tahun 1968 itulah, Yogie SM, sebagai DanDim Bandung, memberikan gedung Jalan Merdeka 7 kepada Senat PMB yang diwakili Nuril Yunus dan Herna Pruistina.
Di jaman itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) terpecah dua, satu pihak di bawah pimpinan Ketua Umum Ali Sastroamijoyo dan Sekretaris Jenderal Surachman berpihak kepada PKI, ketika itu lazim disebut “PNI A-Su”. Sedangkan pecahannya di bawah pimpinan KetUm Osa Maliki dan Sekjen Usep Ranawijaya bersikap anti-PKI, lazim disebut “PNI Osa-Usep”.
Setelah peristiwa G-30-S/PKI, PNI A-Su menjadi organisasi terlarang, berserta semua organisasi bawahannya (onderbouw). Salah satu onderbouw PNI A-Su adalah Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), yang mempunyai Sekretariat di Jalan Merdeka 7.
Gedung itulah, yang setelah disita Kodim Bandung di tahun 1965, diserahkan kepada PMB di tahun 1968 oleh Komandan Kodim waktu itu, Yogie SM, dan sampai sekarang, 40 tahun kemudian, masih merupakan Sekretariat PMB.
Kiranya Allah SWT menempatkan alm. Yogie SM pada tempat yang terbaik di alam baka, mengampuni dosa-dosanya dan membalas amal ibadahnya. Amiiinn…

Wasalam.
Akhmad Bukhari Saleh PMB 64

Rabu, 15 Oktober 2008

Berkah MERDEKA 7

Pancasila & 1 Syawal 1429 H

Bertepatannya 1 Syawal 1429 Hijriah dengan kalender 1 Oktober 2008 yang dikenali dalam konteks semangat kebangsaan Indonesia sebagai Hari Kesaktian Pancasila sejak 1965 adalah perlu dimaknai tidak sebagai kebetulan semata namun dapat berarti bahwa ada koinsidensi sedemikian rupa akibat satu pengaturan atas satu kehendak, fenomena ini tidaklah sama dengan pengaturan tanpa kehendak yang diyakini oleh kaum manusia kapitalis liberalis di ranah Ekonomi Pasar Bebas yang kini terbukti membawa bencana kemanusiaan bernama Big Bang Ekonomi Keuangan Amerika Serikat berdaya Bail Out USD 700 Milyard plus dampak susulannya di berbagai belahan dunia berupa penurunan indeks saham gabungan. Boleh dikatakan bersatunya kedua peristiwa penting bagi bangsa Indonesia ini layaknya “berkat tangan Tuhan” seperti ucapan Maradona ketika menciptakan gol kontroversial bagi kemenangan kesebelasan Argentina, yang justru dapat diharapkan mampu berperan sebagai terapi anti bencana kemanusiaan yang khas bagi bangsa Indonesia sekaligus modal joang bangsa menggapai Indonesia Digdaya 2045.
Bilamana kebersamaan pemahaman tersebut diatas dapat diakui, syukur oleh banyak warga bangsa Indonesia, maka boleh dipastikan jiwa, semangat dan nilai2 (JSN) koinsidensi kedua peristiwa itu adalah momentum yang merupakan berkah, ridho dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa di hari Kemenangan umat Islam Indonesia 1 Syawal 1429 H. Dalam pengertian itulah, kebersamaan kita mendalami pemahaman hubungan antara JSN Pancasila 1945 dengan ayat-ayat kunci Al-Qur’an (QS) yang penulis gali pada bulan April 2008 ybl adalah menjadi sungguh penting bagi kesejahteraan lahir dan batin umat, seperti paparan penulis di Sarapan Pagi TVRI tanggal 1 Oktober 2008 jam 6.35 – 6.55 wib ybl.
Hubungan itu adalah : Pancasila sebagai Lima Pandangan Hidup Bangsa [99 kata kunci QS], (1) Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tuhan Yang Maha Esa [1044 kata kunci QS], (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sebagai Sikap Martabat Keadilan Manusia [372 kata kunci QS], (3) Persatuan sebagai Sikap Tekag Bersatu Padu [7 kata kunci QS], (4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Musyawarah dan Mufakat sebagai Hikmah Kebijaksanaan Pemimpin Musyawarah Masyarakat [64 kata kunci QS), (5) Keadilan Sosial sebagai Keadilan Masyarakat [9 kata kunci QS].
Pada Sarapan Pagi TVRI itu penulis paparkan juga bahwa JSN Pancasila 1945 dapat ditemui pula pada Ajaran 5 (lima) Pintu Utama Kerajaan Galuh Pakuan [tahun 1545] dan sosok keberadaan 5 (lima) Bangunan Utama Kerajaan Soenda [tahun 1345] yang keduanya itu diperoleh dari kunjungan KelBes Siliwangi dpp MayJen TNI (Purn) Herman Sarens Soediro ke Limbangan, Garut, Juli 2007, dimana penulis ikut hadir mewakili DHN45. Demikian pula pada Januari 2008, atas arahan bapak Des Alwi, Ketua Yayasan 10 Nopember 1945, telah penulis terima buku Pancasila Pelita Penerang Dunia, Amanat Tuhan Terhadap Umat Manusia Sedunia Menuju Perdamaian Dunia yang merupakan uraian dari petunjuk yang diterima oleh bapak La Ode Ahmad Muhammad Nur Kaimuddin, nelayan dari Pulau Seram, Maluku.
Adapun alat bantu lain untuk memperkaya pemahaman peristiwa koinsidensi diatas, demi Strategi 7 Ketahanan Bangsa (StraHanSa) menggapai Indonesia Digdaya 2045, adalah The 7 Ways To Happiness yaitu (1) Sabar, (2) Mensyukuri, (3) Sederhana, berkemampuan menangkap esensi, (4) Kasih sayang, (5) Memberi, (6) Memaafkan, (7) Pasrah berkemampuan berserah diri dan Percaya 100 % kepada Tuhan.

Jakarta, 2 Oktober 2008
Pandji Rulianto Hadinoto
Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 1970

Rabu, 08 Oktober 2008

Gaudeamus Igitur - pada 16 Agustus 2008 - 60 th PMB

Menolak Pemimpin yang Abai

republika, sabtu 4 oktober 2008
Menolak Pemimpin yang Abai
Andi Sahrandi Aktivis Antikorupsi
Pemimpin seperti apakah yang tega melakukan pembiaran terhadap rakyatnya yang sedang kesusahan? Sampai hari ini, kita masih bisa melihat, mendengar, dan merasakan aksi pembiaran oleh pemimpin negara terhadap rakyat.
Lihatlah, pada Ramadhan lalu, pengungsi lumpur Lapindo masih menjalaninya di tenda pengungsian. Diterbitkannya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 belum menyudahi penderitaan mereka.
Peraturan Presiden yang mengatur tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo itu salah satunya mengatur tanggung jawab PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Pemerintah mengambil alih tanggung jawab Lapindo terhadap area di luar peta terdampak. Ada tiga desa yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab itu belum juga dilaksanakan. Pembiaran telah dilakukan kepada pengungsi itu. Abai terhadap rakyat rupanya menjadi hal biasa di Indonesia. Dengarlah pula keluhan rakyat yang terbebani biaya hidup. Aksi korporasi Pertamina ikut menambah beban rakyat. Tak ada juga keberanian dari pemimpin negara ini untuk membatalkan aksi korporasi Pertamina dalam menaikkan harga gas, menyusul aksi menaikkan harga bahan bakar minyak yang telah membuat rakyat tambah sengsara itu. Yang ia lakukan hanya berjanji tak akan ada kenaikan harga gas lagi sampai pemilu 2009.
Oh, lagi kampanye ya. Rasakan pula nikmatnya hidup dengan listrik yang mati-hidup karena pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan pasokan batu bara. Pemerintah harus bisa bertindak tegas agar tidak didikte pengusaha. Terlalu lunak mengikuti keinginan pengusaha membuat pemerintah tak mempunyai sikap tegas membela kepentingan rakyat.
Jika pemerintah bersedia memenuhi keinginan segelintir orang yang kebetulan adalah pengusaha, seharusnya pemerintah juga bersedia memenuhi keinginan rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat memilih bukanlah agar seseorang menjadi presiden untuk membiarkan adanya pengabaian terhadap hak-hak rakyat. Rakyat memilih presiden juga bukan agar presiden terpilih memilih pembantu-pembantu yang ngebet memenuhi kebutuhan pribadi. Ada yang ngebet membuat Blue Energy dan Supertoy HL2.
Memilih pemimpin Tentunya, rakyat sekarang telah pintar memilih pemimpinnya. Maka, rakyat tak akan lagi terkecoh oleh penampilan luaran. Rakyat tentu akan memilih pemimpin yang memiliki komitmen kerakyatan dan humanis.
Saat ini ada banyak orang yang merasa bisa menjadi presiden. Kalau cuma 'merasa bisa', semua orang bisa melakukannya. Tapi, yang diperlukan adalah orang yang 'bisa merasa'. Yang diperlukan adalah pemimpin yang bisa merasakan denyut kebutuhan rakyat.
Melihat kemunculan mereka yang merasa bisa itu, kita bisa menduga mereka ingin menjadi presiden bukan karena mereka cinta negeri ini, melainkan karena cinta pada diri sendiri. Mereka diduga memiliki dendam pribadi terhadap situasi. Mereka diduga menyatakan siap landasannya karena iri terhadap yang lain: Merasa lebih tegas, lebih senior, dan sebagainya.
Untuk menjadi calon presiden, tentu membutuhkan uang yang tak sedikit. Akan ada banyak hal yang perlu disiapkan, termasuk membeli dukungan dari partai lain, jika partainya tidak mencukupi syarat yang dibutuhkan untuk bisa mengajukan calon presiden.
Itulah risiko banyaknya partai peserta pemilu. Jarang yang mampu mengeruk persentase suara yang disyaratkan untuk bisa mengajukan calon presiden, sehingga saat pengajuan calon presiden perlu saling mendukung lewat besar-kecilnya uang yang ditawarkan. Jika demikian, orang yang tak punya duit jangan mengajukan diri menjadi calon presiden, karena tak bisa membeli dukungan dari partai-partai.
Kecuali jika ia bisa mendapatkan banyak uang dari pengusaha, sehingga ia menjadi boneka pengusaha itu. Saat ini tak ada lagi iklan di televisi, yaitu iklan dari seorang muda yang menyatakan diri siap memimpin negeri ini jika diberi amanah, karena sumbangan dana dari pengusaha kepada dirinya telah distop.
Pemilu di Indonesia lantas menjadi pemilu yang mahal biayanya. Pemilihan kepala desa saja, menghabiskan banyak uang. Ada calon kepala desa yang menghabiskan Rp 2 miliar, itu pun belum jaminan terpilih sebagai kepala desa. Untuk menjadi camat, juga butuh banyak dana untuk menyogok, itu pun belum tentu terpilih sebagai camat yang akan ditunjuk.
Untuk bisa mengikuti pemilihan bupati wali kota, juga dibutuhkan banyak dana untuk membeli dukungan dari partai-partai. Habis uang Rp 10 miliar sebagai calon bupati, belum jaminan bisa memenangkan pemilihan. Calon bupati Ponorogo yang tak terpilih, kemudian masuk ke rumah sakit jiwa karena tak kuat menanggung beban utang.
Untuk bisa mengikuti pemilihan gubernur juga membutuhkan banyak dana pula. Untuk menjadi presiden, lebih-lebih lagi. Dana Rp 600 miliar belum tentu cukup untuk biaya sang calon presiden.
Alangkah bermanfaatnya jika dana itu digunakan untuk membantu menyejahterakan rakyat tanpa harus disertai dengan keinginan menjadi presiden.
Adanya banyak calon pemimpin negeri yang muncul bukan karena rasa cinta pada bangsa dan negara tentu membuat rakyat bingung memilih. Jika mereka menyatakan semua calon tak layak dipilih, nyatanya mereka harus memilih demi tidak menjadi golput. Tapi, jika harus tetap memilih, nyatanya tak ada calon yang memadai --paling tidak hingga saat ini.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bersedia mencintai bangsa dan negaranya. Karenanya, ia akan mencintai rakyatnya. Jika rakyatnya mengalami kesusahan, dengan kebijakannya ia akan membantu mengatasi kesusahan rakyatnya. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mempunyai rasa percaya diri bahwa ia mempunyai kekuasaan penuh dari rakyat untuk digunakan sebagaimana seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.
Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang setelah mendapatkan mandat dari rakyat, tapi lantas mengabaikan rakyat dan memilih memanjakan pengusaha-pengusaha yang membiayai kampanyenya. Dengan kata lain, bangsa ini tak butuh pemimpin yang berutang budi kepada pengusaha, melainkan yang berutang budi kepada rakyat. Bangsa ini tak butuh pemimpin yang sibuk berbagi kekuasaan. Bangsa ini juga tak butuh pemimpin yang di sekelilingnya adalah orang-orang yang sibuk memanfaatkan kedekatannya untuk kepentingan pribadi.
Jika kita tahu bahwa mereka yang mencalonkan diri itu selama ini tak memperhatikan rakyat, ya lebih baik tak usah dipilih. Kita perlu menatap masa depan. Karenanya, yang harus dipilih adalah pemimpin-pemimpin yang mempunyai visi ke depan dan tentu saja bersih, serta lebih mementingkan kebutuhan rakyat daripada kebutuhan kelompok lain selain rakyat.
Anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung tahun 1967