Revolusi Tanpa Darah
Sulit membayangkan suatu revolusi tanpa darah. Sejarah revolusi dunia, mulai dari Latin Amerika sampai Cina, tetap berjejak darah. Terlebih revolusi Arab Spring belakangan ini. Jenderal Charles De Gaule pernah berujar, revolusi mengorbankan anaknya sendiri. Revolusi, kata Winston Churchill, harus direduksi lewat diplomasi agar nyawa manusia bisa lebih selamat.
Amerika Latin mengenal empat musim. Namun, di sana juga ada musim yang sulit diprediksi: musim kudeta (coup d’etat). Rezim yang dicap otoriter, tak peduli derita rakyat, dan korup bersama kroninya, dapat digulingkan sewaktu-waktu.
Disebut revolusi bila mampu melakukan perubahan sosial dan budaya secara fundamental. Ruang lingkupnya dialektika, logika, dan romantika revolusi, seperti pemahaman sejarah, nilai, dan cita-cita yang diperjuangkan lewat berbagai instrumen demi kehidupan lebih baik dan bermartabat. Menjebol dan membangun, itu kata kuncinya. Alexis de Tocqueville mencermati, revolusi bisa saja terjadi simultan lewat kekerasan. Seperti revolusi politik yang bertujuan membentuk tatanan politik baru.
Revolusi mengorbankan harta dan nyawa yang tak terbilang. Tenggat waktunya ada yang segera, ada yang lama. Sebutlah revolusi industri di Inggris yang sangat lama tapi efeknya mendunia. Menurut T. S. Ashton, revolusi yang berlangsung gradual sejak 1760 hingga 1830, timbul lagi pada 1850, ini menjadi proses perubahan teknologi, sosio-ekonomi, dan kultur. Rentetan efeknya luar biasa hingga terbitnya Factory Act (1234) yang ikut mengatur hak anak di bawah umur.
Jatuhnya monarki absolut dan tuntutan restrukturisasi radikal Gereja Katolik oleh kaum demokrat yang didukung kaum republikan menandai era Revolusi Perancis (1789-1799). Napoleon Bonaparte ikut berkudeta, mengakhiri rezim lama dan melanjutkan revolusi.
Perancis mengalami berbagai sistem kekuasaan: monarki, kekaisaran, hingga republik. Penyebab revolusinya antara lain rakyat marah pada absolutisme kerajaan, hancurnya ekonomi, buruknya sandang pangan, menggunungnya utang negara, dan tak adilnya sistem pajak. Plus sentimen terhadap kaum bangsawan dan borjuis, serta intoleransi terhadap agama.
Puncaknya, 14 Juli 1789, rakyat menguasai penjara Bastille, membunuh gubernur De Launay berikut pengawalnya. Bastille jadi simbol kebencian. Apalagi para petani ikut memberontak. Akibatnya, di masyarakat tercipta ketakutan besar (la Grande Peur).
Berbeda dengannya, Revolusi Bolshevik 25 Oktober 1917 di Rusia dilancarkan kaum komunis pimpinan Lenin. Revolusi yang menggulingkan Alexander Kerensky, pemimpin nasionalis, ini menghasilkan Uni Soviet yang menggantikan sistem Tsar Rusia. Rezim terakhir, Tsar Nikolas II, diturunkan dari tahtanya karena tidak cakap memerintah dan kehilangan legitimasi. Revolusi Oktober ini juga diramaikan “Kornilov Affair”, suasana perang Rusia versus Jerman. Kehidupan kaum pekerja dan tentaranya sangat sengsara.
Sementara Revolusi Kebudayaan (Wénhuà Dàgéming) sangat membekas getirnya di kalangan rakyat Cina. Inspiratornya, Mao Zedong. Revolusi ini terjadi sejak 1966 hingga 1976 dengan Pengawal Merahnya. Inilah puncak perseteruan Mao versus Liu Shaoqi (presiden saat itu yang dituduh “kanan” serta mendukung intelektualisme dan kapitalisme).
Lain lagi dengan Revolusi Iran yang mengubah Iran dari monarki konservatif ala Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadi Republik Islam di bawah pemimpin spiritual dan revolusi Islam, Ayatollah Ruhollah Khomeini. Revolusi ini berlangsung Januari 1978 hingga Desember 1979. Dari pengasingan di Paris, sang pembebas Khomeini menyusun kekuatan. Kaset agitasi bernuansa Islam diselundupkan ke seantero negeri. Para kader intelektual disiapkan. Rakyat terpikat, siap ber-revolusi.
Khomeini come back ke Teheran, Reza Pahlevi hengkang ke Kairo, Mesir, pada Januari 1979 untuk hidup di pengasingan sampai ajal menjemput. Warisannya berupa penguasa otoriter, brutal, korup, dan bikin rakyat sengsara.
Tapi jangan lupa, revolusi Indonesia tak kalah heroik dan menarik. Terjadi perang gerilya dan kekuatan militer yang dikombinasi jurus diplomasi. Perjuangan rakyat semesta berbambu runcing mampu mengusir kaum imperialis dan kolonial dari bumi pertiwi.
Indonesia terbangun dari nasib sepenanggungan anak negeri. Bersendi Pancasila dan UUD 1945, Indonesia sudah makan asam garam revolusi, juga reformasi. Kini, agar tak lagi jatuh korban dan berdarah-darah, lakukanlah “revolusi tanpa darah” alias “restorasi”!
Oleh: Prof. Dr. Bachtiar Aly , MA Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Foto: Fendi Siregar
** PMB angkatan 1969
http://www.prioritasnews.com/2012/02/20/revolusi-tanpa-darah/