Buku, Pesta dan Cinta:
Masihkah Ada?
Buku, Pesta, dan Cinta adalah slogan yang sangat
populer di kalangan mahasiswa UI sejak era ‘60-an. Pada waktu itu kehidupan
kemahasiswaan sangat diwarnai oleh semangat kebebasan dari semangat Tritura. Di
era itu mahasiswa bebas untuk berorganisasi dan berpendapat dengan modal
keberanian. Puncak dari semangat untuk mengekspresikan kebebasan itu adalah peristiwa
Malari, yang berakibat beberapa tokoh mahasiswa mendekam di dalam penjara.
Beberapa alumni dari periode ini punya pandangan yang
sama tentang pola pergaulan pada masa itu. Kesatuan mahasiswa mudah diciptakan
karena belum ada gank-gank apalagi kelompok-kelompok berdasarkan perbedaan
status sosial. Dan umumnya pada masa ini antar mahasiswa saling kenal dan
bergaul akrab. Karena keakraban itu pulalah sehingga tidak jarang ada pasangan
mahasiswa/i yang melanjutkan ‘merenda hari esok.’
Setelah peristiwa Malari itu kehidupan kampus
dibekukan, cara berpikir dan orientasi mahasiswa menjadi harus cepat dan mudah.
Kegiatan ‘hore-hore’ menjadi lebih besar bobotnya daripada diskusi ilmiah.
Sejak tahun 1987, kampus UI berpindah dari Rawamangun
ke Depok. Pola pergaulan yang ada kemudian juga mengalami perubahan, dan mulai
mengarah pada pertentangan karena tiap kelompok ingin mendahulukan
kepentingannya dan mendominasi.
Trend dan dinamika mahasiswa UI pasca reformasi saat
ini tidak dapat menghindar dari modernitas yang mempengaruhi mahasiswa dalam
bertindak. Sarana dan pra-sarana yang makin canggih memungkinkan
kemudahan-kemudahan untuk menghabiskan waktu di mall, cafe atau hanya di depan
komputer untuk berinteraksi. Generasi sekarang mungkin tak sesusah generasi sebelumnya.
Kini dominasi pembicaraan di kampus tidak diwarnai
hal-hal yang berbau sosial politik melainkan soal 3F (food, fashion, &
film). Lalu, masihkah ada buku yang terselip di antara cinta dan pesta
mahasiswa?
Mungkinkah mimpi Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa
UI era ‘60-an, menjadi semakin terang atau semakin kabur?
“Mimpi saya
yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia
berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa.’ Menjadi pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai
seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang
mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya
ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya,
selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani
menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak
menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok
kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan
golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik
saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu
oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.” (Soe Hok Gie)
Pemuda, yakinlah “KEBENARAN biarpun menyakitkan, lebih
baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan
kekurangan-kekurangan kita.”
http://media.kompasiana.com/buku/2011/07/02/buku-pesta-dan-cinta-masihkah-ada/
Foto koleksi : Rofiek PMB 77 dan Herru PMB 78
Foto koleksi : Rofiek PMB 77 dan Herru PMB 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar