Selasa, 02 Desember 2008

Pemikiran Tentang Reformasi

PEMIKIRAN TENTANG REFORMASI
DAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Pidato ilmiah di Sidang
Senat Guru Besar ITB, snr. SUDJANA SAPI'IE,
Ketua Senat PMB 1955-1956

Bagian I
REFLEKSI TENTANG REFORMASI
Gerakan Reformasi yang tercetus dipertengahan tahun 1990-an adalah suatu gerakan perubahan menentang suatu sistem benegara yang telah kehilangan legitimasinya. Ia lahir secara evolusioner bertahap sehingga menjadi gelombang perubahan yang tidak tertahankan, dan menumbangkan suatu rezim yang telah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Kita di ITB terlibat pula dalam gerakan itu, dalam suatu format dimana Senat ITB berperan penting. Usaha Senat ITB itulah yang melahirkan suatu gerakan simbiosistik antara sivitas akademika ITB, mahasiswa dan alumninya. Kemudian kita berperan pula menggerakkan universitas lainnya membentuk forum gerakan bersama sebagai kekuatan moral mendukung gerakan mahasiswa. Presentasi tentang Reformasi ini akan dimulai dengan sketsa tentang Orde Baru sebagai tahap mula (prelude), disusul dengan Reformasi Meiji sebagai contoh reformasi yang sukses dan kemudian membahas tentang Reformasi Kita saat ini, serta kemanakah arahnya dikemudian.

A. ORDE BARU DAN IDEOLOGI PEMBANGUNAN
Orde Baru yang mewarisi kondisi ekonomi yang parah, mempraktekkan konsep “Akselerasi Pembangunan Dua Puluh Lima Tahun”[1], memulai eranya dengan kepercayaan dan harapan masyarakat yang besar. Orde Baru mengintroduksikan pembangunan berencana secara bertahap, membuka negara untuk modal asing, menjalankan kebijakan pembangunan yang dualistis, yaitu mengakomodasikan bantuan Bank Dunia dan bantuan bilateral lainnya disatu sisi, dan disisi lain menjalankan kebijakan membangun secara independen melalui Pertamina.Yang akhir ini bercirikan paham nasionalisme dalam membangun, dengan dicanangkannya konsep “Nasionalisme Baru” pada tahun 1974, dan usaha membumikan Panca Sila melalui indoktrinasi masal sebagai pemantapan ideologi nasional dimulai pada tahun 1978 yang dikenal denga P-4. Program P-4 itu berlangsung sampai akhir masa orde baru pada tahun 1998.

1. Nasionalisme Baru
Pada saat kita memasuki masa pembangunan diera pasca Sukarno, suatu semangat membangun yang terinspirasikan oleh kesenjangan teknologi antara kita dan dunia maju (Barat dan Jepang) terbentuk, yang kemudian mendasari lahirnya nasionalisme baru. Suatu faham nasionalisme dimana keunggulan berteknologi harus merupakan atribut kebangsaan, mulai dikumandangkan oleh Ibnu Sutowo (alm), direktur Pertamina yang legendaris itu. Usaha secara besar, nyata dan berencana kemudian dilakukan dibawah Habibie, dengan penanganannya dimulai dalam bentuk industri pesawat terbang.
Cita-cita kebangsaan demikian itu jelas mengacu kepada semangat yang diinduksikan oleh Bung Karno (alm) tentang sejarah dan perkembangan bangsa kita, dari bangsa yang telah terjajajah sekian lamanya, agar dapat bangkit dan tidak menjadi “een natie van koelies en een koelie onder de naties”, demikianlah ucapannya, maka simbol-simbol modern kebangsaan demikian itu, sangat kita perlukan. Simbol-simbol kontemporer yang dapat membanggakan, yang hanya dapat diraih dengan bekerja keras dan berprestasi dalam lingkungan dunia modern, hanya dapat kita lakukan dengan tekad dan keberanian berkorban sebagai bangsa yang membangun.
Rasa bangga dalam berprestasi sebagai bangsa yang membangun telah dinyatakan oleh Bung Karno, pada saat beliau meresmikan stadion Gelora Senayan, pada tahun 1962. Dalam sambutannya dinyatakan bahwa walaupun konsep desainnya adalah Rusia, akan tetapi pembangunannya adalah Indonesia, yaitu melalui keringat bangsa kita sebagai pelakasananya. Kita patut berbangga atas prestasi itu. Suatau prestasi yang hanya dapat diraih melalui kerja keras.
Dalam konteks Nasionalisme Baru dengan bekerja dan berprestasi dalam era teknologi maju sebagai salah satu nilai utamanya, rasa bangga itu dibuktikan paling tidak dalam dua kejadian, pertama pada saat pesawat CN 235 yang diciptakan secara bersama dengan rekan-rekan dari paberik pesawat terbang CASA di Spanyol, diluncurkan sepuluh tahun setelah IPTN berdiri; dan kedua, pada saat N 250, pesawat hasil kreasi kita sendiri, terbang pertama pada usia IPTN yang ke dua puluh. Sambutan masyarakat luar biasa termasuk dari mereka yang kami kenal kurang setuju dengan program IPTN. Rekan-rekan dari luar negeri secara tulus menyalami dan dari wajah dan ekspresinya dapat terlihat suatu kekaguman bahwa kita dapat membina kemandirian berteknologi demikian itu dalam waktu dua puluh tahun. Pers dan media dalam negeri menyambutnya dengan sangat entusias, dan era kebangkitan teknologi nasional kita, kemudian dikumandangkan.

2. Membumikan Panca Sila
Panca Sila yang tercantum dalam pembukaan UUD-45 oleh Orde Baru diusahakan untuk diuraikan lebih lanjut sehingga menjadi suatu ideologi yang hidup sebagai azas-azas negara. Intepretasi praktis diberikan, untuk kemudian dijadikan serangkaian panduan praktis, baik sebagai falsafah negara maupun jati diri bangsa. Kemudian dituangkan pula dalam bentuk yang lebih nyata sebagai acuan program-program pembangunan.
Dengan demikian, maka orde baru telah berusaha untuk membuat suatu sistem bernegara dengan referensi yang jelas, mendirikan Negara Panca Sila dengan doktrin, atribut dan programnya. Usaha pemahamannya secara masal melalui BP-7 dilakukan secara berencana melalui program-program khusus sebagai bagian dari pembangunan bangsa, yang dijalankan secara konsisten dari tahun 1978 sampai 1998.
Sebagai program yang direncanakan secara terintegrasikan dengan birokrsai negara dimana mono loyalitas merupakan pengertian yang penting, maka penerimaannya dikalangan peserta akan beragam, mulai dari yang sarkastis sampai dengan meyakininya. Karena mengikuti program demikian adalah suatu keharusan maka setuju atau tidak, orang terpaksa untuk mengikutinya. Apakah itu kemudian dikhayati sebagai doktrin kehidupan, atau hanya hadir karena alternatifnya dirasakannya akan lebih merugikan, hanya yang bersangkutan sajalah yang mengetahuinya.
Sesuatu yang nampak sekali adalah integritas program itu sendiri yang sangat diragukan. Hal itu terutama karena apa yang dipahamkan dan praktis yang terjadi dimasyrakat, adalah dua hal yang berlainan sekali. Permasalahan integritas itu dan perasaan adanya pemaksaan pada intepretasi tunggal merupakan unsur-unsur utama dari tidak efektifnya program indoktrinasi masa itu.

3. Timbulnya Gerakan Reformasi
Dalam perjalanannya Orde Baru mulanya berhasil membalikkan ekonomi secara berarti. Akan tetapi karena kebijakannya mengandung unsur-unsur “favoritism” pada skala yang signifikan yang dikenal sebagai KKN, disertai pemupukan modal melalui kebijakan perbankannya yang sangat liberal, menimbulkan permasalahan pengendaliannya sehingga pada akhirnya kehilangan kontrol. Keadaan itu disertai kekuasaan yang terlalu lama dalam sistem demokrasi panca silanya, telah menimbulkan gelombang ketidak puasan secara berarti dan melahirkan gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1990-an. Orde baru yang dimulai dengan memberikan harapan yang besar dan telah berhasil menaikkan kesejahteraan disertai pemupukan rasa percaya diri, namun dengan kelemahannya yang “inherent” dalam praksis kekuasaan yang terpusat dan jatuh pada ketidak rasionalan dalam mengaplikasikannya itu, harus meninggalkan arena kekuasaan yang digenggamnya selama lebih dari 30 tahun.

4. Berakhirnya Ideologi Pembangunan
Dalam suasana kehidupan nasional pasca kepemimpinan Presiden Suharto, hilanglah aroma P-4 sebagai usaha pembelajaran masal selama 20 tahun, dan seakan tidak terasa ada bekas-bekasnya termasuk semangatnya. Dalam perubahan itu yang mengemuka adalah suatu eforia yang dahsyat. Mungkin karena eforia itulah maka rangkaian usaha dalam menegakkan Nasionalisme Baru dan membumikan Panca Sila melalui P-4 terlupakan, terbenam, hilang tidak berbekas. Jadi usaha yang telah dijalankan selama lebih dari 20 tahun itu, dengan pengorbanan negara yang besar, yang sempat memberikan kebanggaan nasional itu, sirna tidak berbekas.
Yang kemudian mengemuka dibidang ideologi negara adalah semangat kebebasan menghidupkan kembali demokrasi. Sedangkan terhadap paradigma menegakkan kemampuan teknologi maju dibidang industri, timbullah pandangan yang pragmatis utilitaris dengan menunjuk pada segala kelemahan pelaksanaannya. Keduanya merupakan reaksi yang dahsyat terhadap kebijakan Orde Baru.
Diberikan demikianlah keadaannya, kami dan berbagai rekan-rekan didalam dan diluar kampus, sering sekali mendiskusikan “Mengapa?” Bukankah itu merefleksikan sesuatu yang penuh dendam dan kebencian? Mengapa demikian dan apakah hal itu merefleksikan suatu kebatinan yang mendalam pada masyarakat kita? Ataukah suatu fenomena permukaannya, yang sewaktu bisa hilang lagi sebagai moda zaman? Kami tidak menemukan jawabannya yang pasti, kecuali lebih banyak pertanyaan yang mengemuka.
Mungkin sekali bahwa hakekat kejiwaan masyarakat antara yang diperlihatkan dan antara yang disimpannya, merupakan dua sisi kepribadiannya yang sulit dijamah oleh stimulus luar. Mungkinkah seorang itu merasionalkan adaptasi dengan lingkungannya? Ataukah dia akan mengadaptasikan diri dengan lingkungannya secara rasional?
Adalah kelemahan dimasa lalu dimana survey-survey demikian tidak pernah ada, dan suatu kesadaran akan kesenjangan yang signifikan antara apa yang diperkirakan ada dengan apa yang sebenarnya berkecamuk dalam masyarakat, tidak pernah terditeksi, mengemuka. Dengan mengacu kepada itu, maka dapat kita simpulkan bahwa dalam usaha menstimulasikan semangat kenasionalan itu, melalui kedua cara idealistik yang disebutkan terdahulu, kita bersama melihat adanya:
a. Ketidak berhasilannya mencapai perubahan yang diinginkan dalam jangkauan waktu yang ditinjau (selama 20 tahun).
b. Tendensi masyarakat kita adalah mengadaptasikan diri dengan lingkungannya secara rasional.
c. Bahwa sejarah bergerak kearah kebebasan dan kerasionalan yang lebih besar, banyak benarnya.
Disamping itu telah pula diperlihatkan bahwa konflik merupakan unsur yang selalu ada dalam sesuatu tatanan masyarakat, dan masyarakat kemudian berkembang melaluinya.

Aplikasi kekuasaan yang kurang rasional dimasa lalu itu, telah mewariskan kepada kita: (1). Hutang nasional yang tinggi, (2). Kelas menengah yang bermula dari “political merchants” dengan para “commercial bureaucrats” sebagai mitranya, (3). Kesenjangan antara kaya dan miskin yang tajam, (4). Kerusakan pada sumber alam yang signifikan, (5). Permasalahan HAM yang tidak terselesaikan, (6). Permasalahan kelompok birokrat (PNS) yang masih sulit, (7). Praksis dalam birokrasi dengan KKN nya, (8) Telah dibangunnya prasarana yang baik, dan (9) Ada semacam perasaan dimasyarakat yang tidak menentu (unsettled) menghadapi perkiraan adanya pelaku yang korup dimasa lalu, akan tetapi tidak dapat terjangkau secara hukum.

B. CATATAN TENTANG REFORMASI MEIJI[2]
Setelah mengedepankan timbulnya reformasi kita yang dikumandangkan para reformis pada pertengahan 1990-an, maka saya akan mensketsakan bagian dari sejarah suatu bangsa yang sama-sama kita kenal, yaitu reformasi Meiji yang pada tahun 1868 yang membentuk negara kesatuan dengan pe-merintahan tunggal, dibawah kaisar Meiji yang baru berusia 18 tahun. Dalam sepuluh tahun kemudian, pemerintah baru ini melaksanakan reformasi yang cepat, telah berhasil membentuk/mendirikan:
- sistem pendidikan umum (universal education) dengan universitas nasionalnya yang pertama pada tahun 1869,
- angkatan darat dan angkatan laut modern,
- administrsi negara yang efisien pada tingkat pusat maupun lokal,
- jaringan telegraf dan kereta api,
- landasan fiskal dan keuangan untuk mendukung industrialisasi yang cepat.
Kemudian dalam kurang dari 40 tahun telah sanggup mengalahkan armada Rusia dalam perang laut ditahun 1905.
Reformasi itu dilaksanakan dengan menumbangkan keshogunan Tokugawa yang telah berkuasa selama 220 tahun sebelumnya yang menerapkan kebijakan Jepang sebagai negara yang tertutup. Keshogunan Tokugawa telah berhasil menciptakan negara yang aman, dan dalam suasana aman selama lebih dari dua raus tahun demikian itu, dapat menciptakan kondisi kehidupan negara, baik secara fisik maupun spiritual sedemikian rupa, yang memungkinkan rezim Meiji dikemudian, melaksanakan usaha industrialisasinya dengan cepat.
Pemerintahan Tokugawa sebagai rezim militer telah berhasil mencerdaskan bangsanya melalui pembelajaran budaya Cina pada skala yang besar diseluruh negeri. Dalam selang waktu dua ratus tahun itu telah dapat membentuk kelompok inteligensia yang berintikan kelas samurai tingkatan rendahnya. Akan tetapi disamping itu telah pula timbul sebagai reaksi terhadap pembudayaan Cina itu dengan doktrinnya “Cina as the center of the world”, doktrin lawannya yaitu “Japan as the land of the Gods” yang menginduksikan nasionalisme Jepang yang kuat. Doktrin tersebut kemudian beralih sebagai “Japan as the land of the Emperor”, yang akibatnya sama-sama kita rasakan dalam perang dunia kedua.
Merupakan suatu ironi tersendiri, bahwa kelompok inteligensia itulah yang kemudian menjadi ujung tombak perubahan, yang pada akhirnya meruntuhkan suatu rezim yang telah berkuasa lebih dari dua abad itu. Para ahli sejarah mengambil 1850 sebagai tahun dimana pemikiran kearah perubahan mulai didengungkan oleh kelompok inteligensia itu. Perubahan yang mulanya menuntut adanya persamaan kesempatan menjadi pegawai kerajaan, melalui meritokrasi. Sesuatu pemikiran yang revolusioner di Jepang saat itu.

Kemudian kelompok inilah yang mengembangkan sekolah khusus dibidang apa yang sekarang kita kenal sebagai Sospol, dengan sejarah menjadi salah satu pengajaran pokok. Banyak tamatan sekolah itu yang kemudian menjadi martir-martir gerakan pembaharuan dan tokoh-tokoh pemerintahan dalam masyarakat reformasi Meiji, diantaranya para perumus konstitusi negara yang baru.
Bersamaan dengan lahirnya pemikiran kearah perubahan itu armada asing (Barat) mulai menampakkan dirinya dan memaksa Jepang untuk membuka diri. Kedatangan armada itu dengan kapal-kapal uapnya, telah lebih meyakinkan bangsa Jepang akan adanya kesenjangan teknologi antara negara mereka dan dunia barat. Kesadaran akan kesenjangan teknologi, bersama dengan doktrin nasional “Land of the Gods” itu, melahirkan kemudian suatu semangat perjuangan sebagai pendorong perubahan, yaitu: “Kemampuan Barat dengan Semangat Jepang” dikenal dengan wakon yosai.
Dengan bertumpuknya kehendak untuk perubahan, disertai tantangan Barat yang berujung pada “membuka atau tidak membuka diri”, maka Jepang masuk dalam perioda kekacauan ideologi selama dua puluh tahun. Dalam perioda demikian itu pertentangan sosial yang sering disertai kekerasan telah dialami. Akhirnya pendapat para intelektual mengerujut pada pendapat bahwa solusi permasalahan kesenjangan teknologi antara Jepang dan Barat, bukan terletak pada memerangi Barat akan tetapi pada mengalahkan keshogunan Tokugawa, dan mendirikan negara kesatuan nasional modern yang kuat. Pemikiran itu yang kemudian menjelma dalam bentuk slogan untuk mendirikan “Rich country strong army”. Akhirnya cita-cita itu melalui suatu peperangan yang berkepanjangan, keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1868, setelah melalui kemelut diistana kaisar dan meninggalnya kaisar Komei ayah Meiji pada tahun 1866, yang digantikan oleh pangeran Meiji yang baru berusia 16 tahun.
Reformasi Meiji telah berhasil meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan Jepang sebagai negara modern yang secara material menurut model Barat, akan tetapi dengan tetap mempertahankan ke Jepangan-nya secara spiritual. Karena reformasi terlaksana tanpa adanya model-model pengembangan yang otentik nasional, maka cara mengadopsi setelah mempelajari berbagai model dari dunia Barat, yang diambil. Dengan demikian maka sistem pendidikannya mengacu pada sistem Perancis dengan sistem distriknya, universitasnya pada sistem USA, angkatan lautnya merupakan kopi dari British Royal Navy dan angkatan daratnya sangat dipengaruhi oleh Perancis. Konstitusi Meiji dan Hukum Sipil mengacu pada Jerman, sedangkan hukum pidananya pada Perancis. Jadi negara Meiji adalah pencampuran dari sistem Inggris, Perancis, Amerika dan German.
Menarik juga perkembangan industri Jepang, yang harus dikembangkan dengan cepat. Tidak ada pilihan lain kecuali pemerintahan Meiji yang harus memikul inisyatif untuk mengembangkan industri yang penting untuk pembangunan bangsanya. Manajemennya diambil dari kelompok inteligensia, dan pekerjanya terutama dari kelas samurai tingkat rendah dan dari kelas artisan. Modal dari negara dan dari para samurai. Disamping menghadapi pembangunan bangsa melalaui industri ini, pemerintah Meiji juga harus mengahadapi ketidak puasan kelompok yang dirugikan, juga dalam bentuk pemberontakan, sehingga beban keuangan negara sangat berat. Pada tahun 1880 keuangan negara sangat kritis, menghadapi kebangkrutan, dan tidak ada pilihan lain kecuali menjual industri-industri negara. Para pembelinya adalah para pedagang yang dekat dengan pemerintahan Meiji atau para petinggi negara, dan mendapatkan industri-industri tersebut dengan sangat murah. Pada saat itu gajih-gajih diindustri negara lebih tinggi dari pada perusahaan swasta, sehingga ditangan para industriawan baru ini, industri-industri itu menjadi produktif dan berkembang. Jadi para pedagang dekat pada pemerintahan Meiji (dikenal dengan istilah ‘political merchants’) dalam sekejap menjadi industrialis baru, diantaranya adalah nama-nama yang kita kenal sekarang seperti Mitsui, Mitsubishi, Furukawa, Kuhara , Asano dan Kawasaki.

B. GERAKAN MEIJI dan REFORMASI KITA
Kalau kita renungkan reformasi kita itu, dan membandingkannya dengan reformasi Meiji, maka akan ditemukan ciri-ciri kesamaannya, yaitu: (a).Dimulai dengan adanya ketidak puasan dikalangan masyarakat yang mendalam, (b). Ada golongan cendekia yang memulai suatau gerakan pembaharuan, (c). Suatu gerakan melawan kekuatan besar yang telah lama bercokol, (d). Mengalami pencerdasan ideologi yang terstruktur sebelumnya, (e). Menghadapi kesenjangan teknologi Barat, (f).Gerakan tanpa rencana yang jelas dan berjalan dengan tanpa arahan yang pasti, (g). Industrialisasi yang dimulai oleh negara yang kemudian menjadi industri swasta, maka akan sangat wajar bila kemudian timbul pertanyaan: “Dapatkah kita melihat pada reformasi Meiji itu sebagai suatu model bagi jalannya reformasi kita?”
Gerakan reformasi kita telah ada dalam usia sepuluh tahunan, dan mungkin sekali kita ada dalam suatu “confusion state” saat ini, kurang menghayati apa yang kita maukan, atau kurang dapat memfokuskannya. Tragedi kita adalah bahwa para reformis tidak siap menghadapi perubahan mendadak yang terjadi pada tahun 1998, saat Presiden Suharto menyatakan diri beliau bukan presiden lagi. Terasa sekali bahwa para politisi mengambil alih dengan mengisi kesempatan yang jatuh pada mereka dengan cara-cara “politics as usual”. Pemikiran reformistis tidak dapat mengimbanginya, karena memang belum terbina suatu semangat nasional yang setingkat dengan “wakon yosai” yang dipakai Jepang menjalankan reformasi Meiji itu.
Kita malahan ada dalam suatu tahapan pragmatis menghadapi krisis multi dimensional dengan doktrin-doktrin pengembangan yang kurang dapat memberikan inspirasi pada pembangunan bangsa. Ini adalah esensi tahapan reformasi kita yang ada dalam “confusion state” itu.
Satu hal yang kemudian sangat terasa adalah bahwa reformasi kita belum sempat melahirkan pimpinan gerakan yang kokoh, sebelum para politisi mengambil alih inisyatifnya. Ketidak adaan pimpinan yang demikian itu berakibat fatal bagi gerakan reformasi ini, karena penjiwaannya sebagai gerakan tidak terwujud kembali dalam era “politics as usual” itu.

Dilihat sebagai proses sejarah, maka akan lazim sekali bahwa reformasi itu akan berjalan tidak lurus dan tanpa gangguan. Kalau pada saat ini reformasi kita ada dalam “confusion state” maka bagaimanakah kita akan dapat keluar dari padanya?
Kelihatannya model reformasi Meiji sulit dapat kita terapkan; semangat pada tingkat “wakon yosai” sulit dapat dibentuk, sehingga melalui teori bahwa: “Untuk suatu masyarakat yang diberikan adalah nilai-nilai spiritual-nya, dan suatu ekonomi yang berlawanan dengan etos yang membentuknya tidak akan berkembang” (Weber), telah memberikan kepada kita suatu tempat dalam spektrum perekonomian dunia seperti yang kita alami saat ini.
Tempat dalam spectrum perekonomian dunia itu, memperlihatkan bahwa kita ada dalam keterpurukan yang berat, sesuatu yang menggambarkan kondisi spiritual kita yang saya percaya bahwa itu merupakan suatu erosi spiritual moral dari yang seharusnya ada; atau suatu kondisi yang merefleksikan bahwa kita ini seakan terasing dari sifat-sifat kita sebenarnya, yaitu sebagai mahluk religius, sosial dalam tradisi kesosialannya yang dilandasi oleh iman, kejujuran dan keharmonisan.
Apakah yang menyebabkan erosi demikian itu?
Dengan mengacu pada perkembangan kita sejak tahun 1950-an, maka sebab-sebabnya akan harus dicarikan dikancah praksis penggunaan kekuasaan dalam proses kita bernegara dan struktur masyarakat yang kemudian ditimbulkannya. Secara khusus terbentuknya suatu golongan birokrat dan teknokrat (dikalangan sipil maupun militer) dengan pendapatan rendah menjalankan kekuasaan besar disamping budaya feodal yang masih menghinggapi elit masyarakat kita, sangat rentan terkena erosi kemoralan demikian itu. Kiranya ucapan Lord Acton yang terkenal, bahwa “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, telah kita alami menjadi kenyataan. Akibat umumnya adalah bahwa kita sukar keluar dari siklus kemelaratan dan kebodohan.

C. REFORMASI DAN SISTEM PERPOLITIKAN KITA
Reformasi telah membawa eforia, dan eforia ini sangat terlihat dalam dunia perpolitikan kita. Demonstrasi dari eforia politik telah diperlihatkan dengan nyata dalam praksisnya pasca pemilu 1999, dimana dalam perioda antara tahun 1998 dan 2004, kita mengalami tiga presiden, melalui suatu tragedi penolakan pertanggungan jawaban Presiden pada tahun 1999. Tragisnya terhadap seorang presiden yang mengembalikan demokrasi yang memungkan para pemain itu bermain dalam arena politik yang tadinya untuk sebagian terbesar dari mereka, tertutup untuknya.
Eforia pokitik pasca era orde baru itu dimana demokrasi dengan kebebasannya yang ditemukan kembali, telah dimanfaaatkan oleh dewan legislatif mengatur pembagian kekuasaan antar lembaga negara, yang sangat berfihak pada mereka. Sistem politik yang terbentuk memperlihatkan adanya berbagai kekacauan dalam pemikiran (confusing), diantaranya bercirikan: (a). Resminya presidensial dalam sistem multi partai yang prakteknya condong sebagai sistem parlementer, (b). Sistem bicameral yang tidak jelas, tidak kuat maupun tidak lemah, (b). MPR sebagai sistem ketiga? (c). Praktek-praktek legislatif yang seakan dalam konflik dengan eksekutif ? (d). Dana-dana untuk parlemen yang dirasakan masyarakat sebagai eksesif, (f). Berbagai praktek-praktek beberapa anggauta parlemen yang tidak terpuji dan bahkan kriminal dalam membawakan kedudukannya.

Presiden dipilih secara konstitusional menrut konstitusi yang berlaku saat-saat itu, yang menghasilkan adanya empat orang presiden dalam waktu 10 tahun. Masing-masingnya kurang menjiwai rokh reformasi sebagai suatu gerakan, sehingga reformasi kita tidak mendapatkan pimpinannya yang kokoh, yang sebetulnya sangat dibutuhkan dalam gerakan demikian itu.
Yang kemudian terbentuk adalah munculnya unsur-unsur krisis legitimasi [3], dimana walaupun secara formal benar, akan tetapi menyatakan sesuatu yang berlawanan dengan nurani kebanyakan orang dalam masyarakat kita. Terjadi adanya kesenjangan antara aspek legalitas dan moralitas, yang menggambarkan bahwa tatanan sosial-moral kita bermasalah [4]. Hasilnya adalah timbulnya ketidak percayaan yang besar, yang berakibat lemahnya modal sosial kita untuk menunjang pembangunan kita selanjutnya[5]. Disinilah tragedi perpolitikan kontemporer kita.

D. REFORMASI DAN BUDAYA POPULER
Reformasi telah turut mengembangkan kelas menengah kita yang seperti pula dinegara-negara lainnya sangat rentan terhadap pembudayaan kontemporer. Pembudayaan massa, atau proses budaya yang berlangsung dalam masyarakat massa sering pula dikenal sebagai proses budaya populer (budaya pop), memerlukan adanya:(1) Ideologi budaya, (2) Ekspresi budaya dalam berbagai bentuk, (3) Sarana penyebarannya (kulturisasi). Proses demikian itu serat akan penyebaran unsur-unsur materi, yang memerlukan adanya industri budaya untuk mensuplainya, sehingga pembudyaan massa merupakan pula bagian dari sesuatu proses ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat.
Dengan demikian maka para penerimanya adalah golongan dari kelas menengah. Ketersediaan produk budaya yang tersebar luas, dengan harga rendah, terstandardisasikan, menghasilkan konsumsi secara masal dengan homogenisasi selera. Jadi pembudayaan massa memerlukan sarana ekonomi yang baik, jadi suatu pasar. Hanya struktur perekonomian yang modern lah yang akan dapat mendukungnya. Dan struktur demikian itu dilahirkan oleh kapitalisme yang berorientasi pada konsumsi.
Jadi budaya massa adalah manifestasi dari kapitalisme, menghasilkan suatu masyarakat komoditas, mendukung gaya hidup tertentu. Jadi tidak mengherankan bila ada pendapat yang menyatakan bahwa gaya hidup adalah cetusan modernitas, dengan sarananya dalam bentuk pusat-pusat perbelanjaan yang kian menyebar dikota-kota besar. Segalanya dapat menjadi komoditas dan komodifikasi ini adalah gaya hidup yang membelenggu para pelakunya, mungkin sekali diluar kesadarannya. Gaya bisa menjadi segalanya, mendorong orang hidup untuk bergaya dan bergaya untuk hidup, walaupun tanpa adanya penghayatan akan makna, dan hanya terbatas pada penampilan dipermukaan.
Media massa memainkan peranannya yang sangat penting, bahkan dapat dikatakan menentukan, dalam proses pembudayaan massa. Dalam suatu masyarakat dimana budaya tayangan lebih dominan dari pada budaya baca, media TV menjadi sangat berpengaruh. TV akan dilihat oleh masyarakat sebagai produsen budaya. Hasil utamanya adalah budaya citra yang sangat kuat, bahkan mungkin sekali dapat meredefinisikan berbagai pengertian termasuk intepretasinya pada ideologi budaya yang mendasarinya. Melalaui budaya citra demikian itu industri budaya menemukan sarananya yang kuat, sehingga relasi antara industri media, industri budaya dan regulasi negara, akan menciptakan ruang pengembangan budaya yang sangat krusial.
Dengan memakai paradigma komodifikasi yang luas, maka jasa media adalah pula suatu komoditas dalam pasaran budaya. Dalam konteks demikian itu, maka dimensi ruang budaya yang dibentuk oleh industri budaya, industri media dan regulasi negara, harus dilihat sebagai ruang gerak budaya yang dinamis dengan orientasi jauh kedepan. Ruang yang dimaksudkan itu, akan lebih mudah dapat disimak bila kita berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan Idi Subandi dalam bukunya “Lifestyle Ecstasy”: “Moralitas, Etika dimanakah ia saat ini? Diselengkangan Madonna-kah yang histeris saat melemparkan celana dalam dihadapan ribuan pengagumnya yang haus kultus tontonan? Ataukah, dibalik kemilau warna kulit Michael Jackson yang melengking meneriakkan ‘kebebasan’ dipanggung kegandrungan masyarakat akan aerobik, kebugaran, fitness, body building, operasi plastic, facial creams, budaya kosmetika yang memoles basis material industri budaya kapitalisme? Ataukah dibalik gemerlap gaya hidup subkultur generasi yang tidak direpresi dan diintimidasi lewat semprotan gas air mata pasukan anti huru hara, tapi lewat semprotan aroma parfum Paris pemeluk budaya hura-hura tanpa rasa haru?” [6]

Jawabannya mungkin sekali adalah: “Terserah pada kita”.
Proses-proses budaya massa manakah yang tengah dihadapi masyarakat kita saat ini? Budaya protes, budaya fastfood dan budaya hura-hura, dalam takaran intensitas yang berlainan, mungkin merupakan jawabannya. Dengan asumsi itu, maka kita akan dapat membayangkan suatu pertarungan budaya yang mengasyikkan. Manakah yang akan memperlihatkan pengaruh dominannya? Disini letaknya permasalahan yang perlu sekali kita sadari dan renungkan, karena hal itu akan turut membentuk masa depan kita.

E. KEMANA ARAH REFORMASI KITA ?
Tahapan perkembangan reformasi kita yang bergerak dalam ruang yang dibentuk oleh politik, ekonomi, sosial budaya telah membawa kita pada lingkungan dimana kita sekarang ada, dengan ciri-cirinya:
Bidang ekonomi masih dalam keterpurukan namun secara makro telah memperlihatkan kemajuan sebelum krisis harga minyak ini. Secara mikro masih jauh dari menciptakan kesejahteraan yang diinginkan. Kemelaratan masih membelenggu.
Diruang politik menghadapi semacam krisis legitimasi akan tetapi terlihat tanda-tanda adanya tuntutan pada perubahan. Hal itu memperlihatkan bahwa sistem demokrasi kita bekerja, dan masyarakat mungkin sekali telah jenuh dengan “business as usual” nya para politisi dan menghendakai perubahan.
Diruang sosial budaya tatanan sosial-moral kita bermasalah, seakan kita ini menghadapai krisis identitas. Sesuatu yang menggambarkan erosi spiritual moral kita dari yang seharusnya ada; atau suatu kondisi yang merefleksikan bahwa kita ini seakan terasing dari sifat-sifat kita sebenarnya, yaitu sebagai mahluk religius, sosial dalam tradisi kesosialannya yang dilandasi oleh iman, kejujuran dan keharmonisan.
Setelah mengetahui atau mengenalnya bahwa reformasi kita yang ada dalam “Confusion State” itu, maka naluri kita akan bertanya,”Buat apa analisa ini semua bila kita tidak berbuat sesuatu. Bukankah mengetahui adalah langkah mula untuk berbuat?” Suatu pertanyaan yang sangat menggugah kita sebagai warga pendidikan tinggi yang diingatkan oleh Marx: “Para filsuf berbicara berbagai hal tentang dunia, yang penting adalah merubahnya” [7]. Kemudian marilah kita mengingat bahwa misi pendidikan tinggi adalah pula dalam bidang pembangunan bangsa, maka sutu pertanyaan: “Apa yang dapat kita lakukan?” kiranya adalah sesuatu yang patut kita renungkan.
Untuk dapat menjawab pertanyaan itu suatu arahan pemikiran harus dapat kita temukan. Arahan itu didapatkan dengan berpedoman pada pemikiran Weber tentang pembangunan yang menyatakan: “….pada analisis terakhir factor yang menghasilkan kapitalisme adalah usaha permanen yang rasional, dengan akontingnya yang rasional, teknologi yang rasional dan hukum yang rasional, tetapi lagi-lagi ini masih belum cukup. Faktor-faktor pelengkap yang perlu adalah semangat rasional, rasionalisasi penyelenggaraan kehidupan pada umumnya dan suatu etika ekonomik rasionalistik”.[8] Dalam konteks kita, istilah kapitalisme oleh Weber dapat diganti dengan pembangunan dan makna kalimat itu menjadi sesuatu yang sangat relevan untuk kita.
Pembangunan nasional dalam suatu lingkungan sosial moral yang bermasalah, akan tetapi dengan keharusan tumbuh pada tingkat yang menggairahkan, adalah permasalahan nasional kita, yang harus kita bersama-sama hadapi. Bagaimanakah melaksanakannya ?
Urgensi untuk dapat memberikan jawaban itu sangat terasa saat ini. Hal itu dikarenakan adanya pendapat yang telah mulai mengemuka secara terbuka, bahwa kondisi keterpurukan kita telah sangat parah, yang perkembangannya menurut Zen dapat mengarah menuju ke Indonesia sebagai negara gagal (failed state)[9].

F. PERLUNYA RASIONALITAS
Inti dari pendapat Weber tentang pembangunan seperti yang dinyatakan diatas adalah perlunya budaya rasional dalam tatanan kehidupan kita. Rasionalisme menuntut agar semua claim dan wewenang dipertanggung jawabkan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang tidak mengandaikan kepercayaan dan prapengandaian tertentu, jadi yang dapat diuniversalisasikan. Ciri pertama rasionalisme adalah kepercayaan pada kekuatan akal budi manusia.[10]
Agar reformasi kita itu akan dapat bergerak dalam alur kemajuan zamannya, maka: “Rasionalitas harus dapat menjadi pandu pemikiran kita dalam merumuskan segala kebijakan pembangunan, dan melandasi semua tindakan kemasyrakatan kita”. Diantaranya yang akan sangat besar pengaruhnya adalah:
- Rasionalitas dalam tatanan politik dan mengaplikasikan kekuasaan pada semua tingkat kewenangan.
- Rasionalitas dalam birokrasi kepemerintahan.
- Rasionalitas dalam aplikasi pemahaman beragama.

Tidak rasionalnya remunerasi pegawai negeri sipil dan militer yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun memerlukan penanganan khusus. Bila suatu langkah perbaikan yang komprehensif tentang pegawai negeri dapat dilakukan dengan perbaikan secara nyata sebesar 10% per tahun, maka akan diperlukan 10 – 15 tahun untuk mencapainya. Tanpa perbaikan pada birokrasi negara, maka pembrantasan korupsi yang sekarang telah berjalan tidak akan dapat berdampak langgeng (sustainable) Jadi kalau perbaikan kedepan yang menjadi permasalahannya, maka jangka waktu 10 – 15 tahun minimal kedepan yang akan harus menjadi jangkauannya.

Aplikasi pemahaman agama seperti yang telah dipertunjukkan waktu-waktu ini, sangat menggugah perhatian kita dan terlihat betul betapa pluralistiknya apa yang diperlihatkan itu. Hal ini tidak mengherankan bila disimak betapa beragamnya tingkat-tingkat pendidikan dan betapa pula perbedaan kesejahteraannya. Bagaimana kita dapat menciptakan budaya rasional dalam bingkai keagamaannya sesuatu agama, adalah permasalahannya. Misalnya dalam Islam sepanjamg yang saya ketahui, ruang untuk mengaplikasikan rasionalisme praktis dalam bingkainya, masih tersedia sangat luas. Tidak banyak yang dilarang asal saja bahwa pada akhirnya setelah petualangan rasionalitas itu, kita kembali lagi sebagai muslim berserah diri pada Nya. Dengan demikian dalam bingkai keagamaan yang berisikan nilai-nilai universal tentang moralitas dan kebaikan, ruang gerak untuk mengaplikasikan rasionalitas masih cukup besar, sehingga tidak pada tempatnya bahwa Islam dianggap menjadi penghalangnya.
Telah disentuh sebelumnya bahwa praksis politik pasca Pak Harto adalah “politics as usual”, sehingga merasionalkan tatanan masyrakat melalui aplikasi kekuasaan yang rasional menjadi suatu permasalahan tersendiri. Bahwa setiap bidang kehidupan memiliki kerasionalannya tersendiri adalah pengetahuan umum. Demikian pula dalam kehidupan perpolitikan kita yang masalahnya adalah merasionalkannya sedemikian sehingga ada dalam bingkai perpolitikan yang lebih ”bernilai”. Polituk adalah masalah ide-ide, pemikiran, nilai dan tindakan. Jadi bagaimana membawa logika perpolitikan dalam bingkai nasional yang mengandung unsur-unsur etika kekuasaan yang lebih bermakna? Kiranya hal itu bukanlah sesuatu yang sederhana dan waktu pulalah yang akan berbicara dengan adanya perubahan zaman (Zeitgeist) dan perkembangan nilai budaya. Dapatkah perkembangan masyarakat menginduksikannya agar proses itu dapat dipercepat?

G. MENGARAHKAN REFORMASI KITA
Permasalahan perubahan arah-arah reformasi kita dengan demikian menjadi sesuatu yang kompleks, kearah mana dan bagaimana mengarahkannya? Pada tingkat pertama hal itu adalah masalah politik. Bukankah keputusan politik merupakan keputusan terbesar dalam setiap masyarakat? Dalam sistem kita bernegara, keputusan politik diambil berdasarkan konsensus berbagai aliran politik. Melihat pada pengalaman dalam keterprukan, suatu pertanyaan kiranya sudah saatnya dapat diajukan: “Dapatkah suatu konsensus antara berbagai kekuatan politik penentu diambil, bahwa arahan reformasi selanjutnya perlu didasarkan pada utilitarianisme yang adil, yaitu secara pragmatis pada pembangunan ekonomi yang berkeadilan?”

Rasionalitas konsensus itu berdiri paling tidak diatas dua sebab, yaitu: (1). Pendekatan secara idealistik telah dicoba, dan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, kurang berhasil, (2). Pendekatan utilitaristik mengacu pada diktum: ”Dalam suatu masyarakat yang diberikan adalah tatanan ekonominya dan aspek-aspek lainnya (termasuk aspek moralnya) diturunkan dari padanya”, (Marx).[11] Dengan pendekatan secara materialistik itu, maka tugas pembangunan ekonomi kita, harus dilaksanakan dengan bertitik tolak dari suatu lingkungan yang penuh kendala, diantaranya:
a. Bercirikan modal sosial yang rendah, dikarenakan adanya ketidak percayaan yang besar antara berbagai golongan dan lapisan dalam masyarakat kita,
b. Pertumbuhan ekonominya rendah sehingga tidak dapat membangkitkan modal sendiri yang cukup untuk mengatasi tekanan pada kenaikan kesempatan kerja.
c. Rangking investasi dan posisi tujuan investasi ditahun 2008: 125 dari 178, dan ditahuin 2007: 135 dari 178[12]
d. Etos untuk kerja keras, sadar waktu, hemat dan jujur, disertai patriotisme, percaya diri, tanggung jawab pribadi dan toleransi masih harus dipupuk terus menerus,
e. Adanya sikap yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat, tanpa usaha yang memadai,
akan merupakan tantangan khusus bagi kita, dan akan memerlukan waktu yang cukup lama, untuk dapat memperlihatkan keberhasilannya.
Disamping itu pengembangan yang terjadi telah menghadirkan Kelas Menengah yang terbentuk pada mulanya dari para “political merchants” yang berkolaborasi dengan para “commercial bureaucrats”, dengan budaya populernya, berhadapan dengan kelas rendahan sebagai masa besar dan berkeinginan pula bergerak dan tidak sabar untuk memasukinya. Dalam konstelasi yang demikian itulah pengembangan ekonomi kita harus dijalankan. Suatu tantangan besar buat para politisi kita, akan tetapi itulah realitasnya. Mengingat posisinya yang demikian sulitnya ini, lembaga-lembaga masyarakat madani termasuk universitas, diharapkan pengertiannya, dan bersama dengan para politisi mengkreasikan suasana yang kondusif untuk pengemba-ngunan ekonomi kita. Ingat bahwa kita harus sukses, alternatifnya bila kita gagal akan sangat sulit bagi kita, dan mungkin sekali Indonesia akan masuk kedalam kelompok negara gagal didunia.

Mudah-mudahan para politisi dan masyarakat madani yang dalam pengembangannya, secara esensial menghadapi permasalahan nasional yang sama, akan dapat sampai pada suatu konsesnsus bersama menghadapi imperatif pembangunan 10 – 15 tahun kedepan, seperti yang dinyatakan diatas. Konsensus demikian itu merupakan persyaratan utama, agar budaya rasional kita dapat dibangun melalaui pembinaan kerasionalan dalam:
- Aplikasi kekuasaan membangun tatanan masyarakat,
- Reformasi birokrasi,
- Aplikasi pemahaman beragama,
- Reformasi pendidikan pada senua tingkat,
- Mencerdaskan masyarakat.
Melalui konsistensi usaha dalam 10 – 15 tahun, sehingga pembangunan ekonomi dan pembudayaan rasionalisme berjalan bersama, maka ada harapan bahwa reformasi kita akan ada dalam arah-arah yang kita inginkan. Alternatifnya adalah perkembangan kita menuju ke negara gagal.
Konsensus demikian itu yang harus dibentuk tanpa adanya pimpinan nasional yang kuat, merupakan suatu permasalahan khusus, sehingga banyak pendapat yang beredar tentang penanganannya. Didalam konstelasi kenegaraan kita saat ini maka alternatifnya adalah melalui proses-proses demokratis. Alternatif diluarnya, walaupun banyak pihak terdengar menyuarakannya, mungkin sekali akan sulit. Proses demokrasi yang telah kita pilih akan memberikan batasan kepada ketentuan tentang “apa yang mungkin” dilakukan. Dalam batasan itulah kita akan harus bekerja.

Bagian II
REFLEKSI TENTANG ITB
Setelah kita mengembara dialam kehidupan nasional dengan segala kerumitannya itu, marilah kita mengarahkan perhatian kita pada kehidupan kampus yang jauh lebih sempit lingkupannya, namun tak kurang pula interesting permasalahannya. Masih banyak isu-isu kelembagaan yang saya lihat yang patut mendapatkan perhatian kita. Diantaranya adalah yang akan saya sampaikan berikut ini.

A. TENTANG JATI DIRI KITA
Setiap lembaga pendidikan tinggi menjangkaui suatu lingkup disiplin keilmuan tertentu, dan dalam lingkupnya itu, dengan memilih suatu pandangan dasar kelembagaannya, ia merealisasikan dirinya.

Baru-baru ini Harvard yang dikenal sebagai universitas dengan Liberal Arts yang kuat, membuka kembali School of Engineering and Applied Sciences nya, setelah tutup untuk berpuluh tahun. Alasannya adalah karena engineering itu bagian yang penting dari kehidupan kontemporer ini, maka Harvard harus ada didalamnya.
Bidang-bidang studi yang dibuka adalah, Nanotechnology, Bioengineering, Energy and the Environment, Computers and Society, yang diramu dengan liberal arts yang kuat. Sambutan dekan nya dalam membuka kembali SEAS itu adalah:
”Those who want to be pure technologists should go to MIT ; at Harvard we want to create people who know how things work but also how the world works”.[13]
Bagaimana kita di ITB melihatnya kiranya belum begitu jelas. Ruang disiplin Ilmu ITB dibentuk oleh Sains, Teknologi dan Seni. Apakah secara sadar kita merealisasikan misi kita dalam ruang demikian itu, tidak banyak kenyataan yang dapat saya lihat, kecuali dalam gagasan pemikiran beberapa Rektor secara retorik.
Memang tidak mudah membentuk kesadaran demikian itu, karena kita harus menyadarinya melalui dua paradigma yang berbeda. Bidang sains ada dalam paradigma kuantitatif, bidang seni dalam paradigma kualitatif dan teknologi dalam bidang percampuran antara keduanya dengan takaran yang berbeda untuk satu disiplin teknologi dan lainnya.

Dengan perkembangan yang terbuka baru-baru ini dimana melalui teknologi informasi dan komputer suatu konvergensi terjadi antara sains, teknologi dan seni dalam merealisasikan usaha-usaha kreatif, maka terbukalah kesempatan bagi kita mensintesakan secara konsepsional kenyataan eksistensi kita, sebagai suatu kekhasan kelembagaan ITB.
Kreativitas yang berhasil membuat dunia lebih datar[14] akan dapat kita pakai sebagai unsur pemersatu pandangan kita. Bidang kreatif dapat kita lihat sebagai suatu kedisplinan baru, yang dapat kita lihat sebagai entitas kekuatan kelembagaan suatu universitas teknologi yang appropriate untuk kita. Bila itu kemudian kita terima maka kita akan dapat memberikan jati diri pada ITB dengan citranya yang khas sebagai Universitas Teknologi yang mengedepankan Kreatifitas dalam misinya. Kita harus dapat mengembangkan arti kreativitas yang lebih bermakna dari pada hanya dalam pengertian yang dianut dalam “Creative Industries” saat ini, sehingga meliputi semua bidang kegiatan ITB.

Masalah itu sebaiknya dibuka sebagai wacana akademis antara kita. Marilah kita mengingat Edward de Bono, yang menyatakan bahwa kreativitas itu bisa diajarkan melalui cara berpikir lateral, dengan kata mutiaranya sebagai berikut:
“There is nothing more marvelous than thinking of a new idea.
There is nothing more magnificient than seeing a new idea working.
There is nothing more useful than a new idea that serves your purpose“.[15]
Bila kemudian kita mengadop Kreativitas sebagai jati diri kita, maka marilah kita menjiwai dan membudayakannya sebagai suatu sesuatu kenyataan kelembagaan kita. Mengembangkannya akan memerlukan waktu, akan tetapi harus kita mulai, sehingga tidak menjadi semboyan yang kososng yang kemudian menjadi isu tentang keintegritasan kita.

B. MAKNA KESARJANAAN
Universitas dengan seluruh programnya, kurikuler maupun diluarnya, membentuk ruang kehidupan bagi para mahasiswanya, yang dikenal sebagai kehidupan kampus. Dalam ruang demikian itu yang dialami seorang mahasiswa dalam waktu yang terbatas ia terbentuk menjadi sarjana. Sebagai lulusan ia merefleksikan pengalaman kehihupan kampusnya yang membangkitkan berbagai harapan dari berbagai pihak, termasuk pula harapan dari dirinya sendiri.
Bertalian dengan itu saya ingin menyampaikan pendapat dari dua orang yang mengalaminya dalam era yang berbeda. Yang pertama muda, dalam setting kontemporer, dan yang kedua telah berumur dalam setting tahun enam-puluhan.

Yang pertama adalah seorang penulis muda yang menuliskan pendapatnya tentang pengalamannya di Harvard University, almamaternya, sebagai berikut:
“It may be hard to get into Harvard but it is easy to get out without learning much of enduring value at all. It is only after the eternal machinery of its student life is behind me that I looked back and felt cheated.” [16]

Untuk yang kedua, saya teringat kembali pada suatu publikasi di tahun 1960-an di majalah “Banking” tentang jawaban seorang bankir terkenal pada pertanyaan yang diajukan padanya: ”Apakah yang membuatnya sebagai bankir besar ?”. Yang kemudian dijawabnya:
“A banker should be about 6% accountant, 8% political economist, another 14% applied psychologist in the sense of having a good knowledge on people, and for the rest, just a scholarly gentleman.” [17]

Makna kesarjanaan yang diberikan oleh dua generasi itu menyatakan suatu perbedaan pandangan antar generasi. Yang pertama generasi muda masa kini, yang dibesarkan dalam dunia budaya populer dengan internetnya dalam bingkai postmo (post modernisme) sangat berbeda dengan generasi yang dibesarkan dalam dunia universitas era tahun limapuluhan. Hal itu jelas-jelas memperlihatkan hakekat kesenjangan antar generasi (generation gap) yang harus kita mengerti dan perhatikan. Lebih-lebih lagi karena hal itu menyangkut hakekat kesarjanaan yang kita tangani.
Untuk kami yang tergolong generasi tua, maka makna kesarjanaan yang dinyatakan sebagai “scholarly gentlemen” itu, adalah sesuatu yang nyata dan kami kenal. Itulah makna kesarjanaan yang ideal bagi kami, sebagai seorang yang menguasai aspek profesional secara matang disertai budaya skolar seorang “gentleman” yang menurut Webster Dictionary adalah a man whose conduct conforms to a high standard propriety or correct behavior.[18]

Sebaliknya apa yang dinyatakan oleh generasi muda tamatan Harvard itu adalah suatu refleksi keadaan yang agak mengagetkan, seakan apa yang didapatkan dalam pengalaman kehidupan kampusnya adalah sesuatu yang tidak relevan bagi kehidupannya. Kelihatannya budaya kampus tidak seirama dengan budaya kontemporer masyrakatnya. Sesuatu yang pantas dipertimbangkan dengan adanya pembudayaan massa kontemporer. Bila demikian itu merupakan gejala umum, maka makna kesarjanaan adalah sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama.
Saya melihat perbedaan itu dalam proses belajar sebagai trade-off antara kecepatan menguasai sesuatu dengan volume informasi besar, dengan penguasaan akan maknanya. Kita yang dibesarkan dalam tradisi bahwa belajar adalah penguasaan akan makna dan memerlukan waktu, dihadapkan pada kebutuhan akan kecepatan memproses volume informasi yang besar dengan bantuan teknologi masa kini, memerlukan orientasi kembali akan makna perkuliahan.

Hal itu mempengaruhi makna kesarjanaan kita yaitu, dari yang secara klasik diorientasikan pada kemampuan berpikir, dengan dinamika keadaan dituntut berubah pada penguasaan ketrampilan menggunakan perangkat lunak bidang profesionalnya yang tumbuh dan berkembang dengan cepat. Jelas bahwa perubahan orientasi demikian itu akan berpengaruh pada internalisasi pengalaman belajar dalam kehidupan kampusnya yang membentuknya sebagai sarjana dibidang profesinya.
Dalam lingkungan pendidikan masal yang demikian itu, maka hakekat kesarjanaan harus kita lihat dalam keseluruhan spektrum pendidikan kita, yaitu mulai dari S1, S2 dan S3. Batas-batasnya harus tegas dan dapat dimengerti oleh masyarakat terutama dunia profesinya. Dengan melihat pada kenyataan masyarakat yang memerlukan dunia profesi yang handal dalam ruang budaya yang bernilai maka penting sekali bagi kita dalam dinia pendidikan tinggi mencari keseimbangan antara utilitarisme dengan kehidupan budaya yang appropriate.
Kenyataan demikian itu akan memberikan persyaratan berat kepada staf dan peralatan kita untuk dapat memberikan pengalaman belajar yang sepadan dengan yang akan dituntut oleh dunia kerja industri kita yang juga berkembang cepat, berubah menyesuaikan pada tuntutan kompetisi. Disinilah letak permasalahan utama pengembangan institusi kita. Dapatkah kita menghadapinya?

B. DOSEN dan KEHIDUPAN KAMPUS
Sesuatu tentang dunia staf akademis kita, memerlukan perhatian. Para anggauta staf akademis di ITB dalam pengalamannya telah belajar bagaimana survive dalam suatu sistem dimana remunerasinya sangat bermasalah. Pada umumnya mereka telah memiliki seni hidup dengan pendapatan dari berbagai sumber, dengan gajih utamanya dari ITB sebagai sesuatu yang marginal. Bagaimana menjalankan kewajiban yang dituntut oleh sumber-sumber multi itu, adalah seni hidup tersendiri. Dalam sistem yang demikian itu para dosen berkembang sebagai profesional dan sebagai staf pengajar, dalam suatu keseimbangan yang mereka temukan sendiri-sendiri.

Dalam lingkungan yang demikian itu ITB berkembang menjalankan misinya mengisikan riwayatnya. Bahwa itu ternyata mungkin adalah kenyataan sifat sebagai a self regulating system dimana para dosennya mengaturnya dengan kesadaran diri masing-masingnya. Adalah kesadaran akan batas-batas demikian yang hidup dalam diri para dosen, yang kemudian membentuk suatu sistem kerja yang penuh akomodasi dan toleransi, dimana ITB mendapatkan kekuatannya.

Berkat alam toleransi dan akomodasi itu selama lebih dari 30 tahun, para dosen dapat kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai profesional dibidangnya dan menemukan keseimbangan hidupnya, sebagai fenomena yang terdistribusikan. Dalam distribusi demikian itu akan pula ditemukan adanya kelompok dosen yang berkembang dibawah potensi nya.
Adalah distribusi populasi dosen yang demikian itu yang membentuk kekuatan ITB dalam menjalankan program-programnya.. Dapat diperkirakan bahwa untuk bagian terbesar dalam distribusi itu perhatiannya masih didominir oleh naluri untuk mengejar kehidupan yang layak. Akan tetapi bagaimana seseorang menghadapinya adalah masalah distribusi.
Dalam perjalanan waktu sepanjang setengah abad dikampus, maka kami mengalami berbagai “Zeitgeist” sesuai perkembangan zaman. Setelah melalui berbagai tahapan, terasa betul bahwa Zeitgeist nya masa kini adalah pragmatisme yang didasari oleh utilitarisme mengejar impian masyarakat kelas menengah, didalam bingkai budaya popular. Sistem nilai yang terbentuk, sangat sedikit memperlihatkan perwujudan nilai-nilai kejuangan. Aspek-aspek idealistis tidak banyak mengemuka dibandingkan dengan masa lalu. Hal itu dirasakan oleh generasi masa lalu itu seperti ada sesuatu yang hilang dalam pola-pola kehidupan masa kini.

Mahasiswa yang diprogramkan untuk dapat menyelesaikan studinya tepat waktu, tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menginternalisasikan pandangan etis dan ideologis diluar aliran utama perkembangan budaya masa kini. Mereka akan terbawa oleh apa yang pada sesuatu saat dilihatnya sebagai sesuatu yang “in”, sehingga pembudayaan massa yang melanda masyrakat kita akan hinggap pula pada mereka.
Permasalahannya adalah, apakah kehidupan kampus kita dapat mengimbanginya dengan nyata, sesuai dengan cita-cita kita sebagai lembaga pendidikan tinggi yang juga diharapkan berperan dalam pembangunan bangsa?

C. INTEGRITAS, KEBEBASAN sebagai NILAI UTAMA
Lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada (a). Memburu (pursuit) dan mendesiminasikan pengetahuan, (b) Mempelajari, memperjelas dan menjaga (guardian) nilai-nilai kehidupan dan (c) Memajukan masyarakat yang dilayaninya. Jadi lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas, bukan bisnis atau birokrasi. Secara khusus suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada bidang-bidang kegiatan yang sangat kental dengan nuansa budaya untuk memajukan masyarakatnya.

Dedikasi demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan baik, bila komunitas itu menghayati nilai-nilai tertentu sebagai landasan berpikir dan bertindaknya. Integritas adalah salah satu nilai utama demikian itu, bila tidak hendak dikatakan yang terutama. Integritas kedalam komunitasnya maupun kepada masyarakat diluarnya.
Jadi masyrakat luas dapat bertanya pada dunia universitas, tentang integritasnya dibidang pendidikan, dibidang riset, menjaga nilai-nilai kehidupan bersama, atau juga dibidang pengbadian kepada masyrakat. Juga pertanyaan tentang integritas univeritas menyusun program-programnya, mengelola administrasinya, menghimpun dananya. Semua pertanyaan diatas itu adalah relevan dalam menilai integritas sesuatu universitas.

Universitas sebagai satuan administrasi jelas harus dikelola dengan baik, dapat memenuhi komitmen finansialnya untuk jangka pendek maupun jangka panjangnya, akan tetapi universitas bukan bisnis atau industri. Sebagai komunitas ia harus peka kepada isu-isu sosial, akan tetapi universitas bukan partai politik atau LSM. Kehidupan keagamaan menjadi bagian yang penting bagai komunitasnya, akan tetapi universitas bukan gereja atau mesjid.
Menghadapi kekuatan tarikan berbagai kepentingan itu memerlukan adanya konsep-konsep yang jelas, dan untuk itu diperlukan adanya kebebasan. Karena hanya dengan adanya kebebasan itu universitas dapat menentukan dan memelihara sikapnya mempertahankan integritasnya. Ia harus dapat menyatakan pendapatnya secara bebas tanpa merasa terikat kepada kepentingan golongan manapun dalam memelihara dan mengembangkan integritasnya.

Butir-butir diatas itu disadur dari ketentuan untuk akreditasi dari asosiasi universitas MSA (Middle States Association of Colleges and Schools)[19] di USA. Disitu dinyatakan bahwa untuk mendapatkan akreditasi secara institusional, MSA mensyaratkan dua ketentauan yang penting, yaitu Integritas dan Kebebasan yang dinilainya sebagai syarat-syarat utama.
Bagaimanakah hal itu untuk kita di Indonesia dan secara khusus di ITB? Pertama-tama marilah kita sadari bahwa institusi pendidikan tinggi kita belum rasional. Dana untuk remunerasi staf maupun untuk operasi dan pengembangan masih bermasalah. Kita masih mengembangkan rasionalitas institusi kita, sehingga ukuran-ukuran yang absolut tentang itu sangat sulit dapat kita terapkan. Jadi ukuran relatif yang akan lebih fair dan lebih mempunyai arti bagi kita.

1. Integritas
Mungkin ada perlunya kita berbicara tentang integritas itu sendiri. Menurut Oxford Universal Dictionary, “Integrity”: soundness of moral principle; the character of uncorrupted virtue; uprightness, honesty, sincerity Kemudian Stanford Encyclopedia of Philosophy, membahas tentang integrity, yang dimulai dengan: Integrity is one of the most important and oft-cited virtue terms. It is also perhaps the most puzzling.........
Marilah kita artikan integritas, sebagai kebaikan (virtue) yang dikaitkan dengan karakter berlandaskan prinsip-prinsip moral yang baik yang tidak dikompromikan, dibawakan seseorang dalam pergaulannya sebagai mahluk sosial. Integritas adalah kebaikan sosial yang akan sangat terlihat bagaimana kita bersikap terhadap sesuatu isu. Berdiri dengan teguh berdasarkan keyakinan dan hati nuraninya, akan tetapi juga dengan tetap menghargai pendapat orang lain, melekat pada seseorang yang berintegritas.

Integritas bertalian erat dengan kredibilitasnya. Kredibilitas, yaitu kemampuan menginspirasikan kepercayaan kepada orang lain, menjadi ciri dari sosok dengan integritas tinggi. Kredibilitas menjadi acuan utama dalam memberikan predikat integritas kepadanya. Untuk mencapainya, diperlukan adanya dedikasi untuk mengejar pandangan moral yang baik dan jelas, disertai tanggung jawab intelektualnya, konsisten dan berhati-hati dalam mengajukan pandangan dan pendapatnya.

Dalam suatu masyarakat yang terbentuk dari beragam warganya, modal sosialnya merupakan suatu parameter pembangunan yang penting. Faktor yang berpengaruh besar pada pembentukan modal sosial suatu masyarakat adalah rasa percaya (trust) diantara warga-warga nya dan diantara warga dengan kelembagaannya. Mudah tidaknya rasa percaya ini akan terbentuk sangat tergantung kepada kadar integritas nya.
Secara esensial, modal sosial itulah yang menjadi problema masyarakat kita saat ini, yaitu dimana tingkat kepercayaan antar sesamanya adalah rendah. Integritas kita bermasalah bahkan barangkali sangat bermasalah. Meningkatkan kadar integritas kita adalah masalah utamanya.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memakai kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang masih dapat diharapkan, untuk menciptakan pulau-pulau integritas, sebagai langkah nyata swadaya massyrakat. Peran pemerintah adalah menciptakan kehidupan kenegaraan agar pembentukan pulau-pulau integritas itu dapat berkembang cepat. Banyak pendapat menyatakan bahwa salah satu kelompok yang diharapkan akan dapat berperan demikian itu adalah universitas.
Disinilah tantangannya bagi kita. Dapatkah ITB mengedepankan kehadirannya dalam masyarakat sebagai pulau integritas demikian itu? Jawabannya tidak bisa lain, harus dapat. Kita harus berbuat segala sesuatu agar citra ITB sebagai pulau integritas sangat nampak. Ini akan menjadi tuntutan dari kita civitas academica ITB, alumni dan masyarakat kita.

2. Kebebasan
Masalah yang kedua adalah kebebasan. Dalam artian umumnya adalah bahwa kita di ITB harus dapat membentuk pendapat kita yang independen yaitu yang bebas, tidak terkooptasi oleh pihak manapun dan memiliki keberanian moral untuk menyuarakannya. Kebebasan berpendapat dengan keberanian moral mengemukakannya yang dilandasai dengan integritas institusional yang mantap, adalah ciri kelembagaan Universitas yang sehat, dan merupakan sesuatu yang akan didambakan oleh seluruh civitas academicanya. Ini berarti bahwa ITB tidak terkooptasi oleh siapapun, termasuk oleh para pemilik proyek. Baru dengan itu ITB akan dapat menjadi pulau integritas yang berwibawa, yang akan diperlukan dalam pembangunan bangsa kita saat ini.
Dalam sejarahnya ITB telah memperlihatkan posisinya yang demikian itu dengan berbagai konsekwensinya yang harus ditanggungnya. Apakah posisi yang demikian itu akan dapat dipelihara selamanya? Terdapat tanda-tanda bahwa telah terjadi erosi dalam mempertahankan posisi demikian itu. Bila erosi demikian itu berlanjut yang akan memungkinkan tersisihnya kita dari posisi yang dimaksud itu dan akan sangat berakibat kurang baik pada citra kita. Kita harus sejauh mungkin dapat menghindarinya.

3. Intelektual Kampus
Sebenarnya tanpa kita sadari, masyarakat dalam alam reformasi masa ini, mengaharapkan banyak dari dunia universitas, terutama dari tokoh-tokoh intelektualnya. Kelompok dengan integritas dan kebebasannya itu yang diharapkan dapat memberikan pencerahan pada berbagai kerisauan yang dirasakan masyarakat. Citra yang positif tentang universitas sebagai pulau-pulau integritas itu telah memicu suatau pandangan tertentu tentang tokoh-tokoh kampus itu, yang disebutnya sebagai intelektual kampus.
Dalam suatu masyarakat dimana intelektual bebas sangat langka, masyarakat mengharapkan banyak dari kelompok intelektual kampus ini, terutama dimana kepercayaan pada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat ada pada titik terendahnya.
Dalam pertemuan dengan berbagai kelompok luar kampus, harapan pada adanya kelompok intelektual kampus yang kuat sering kali kami dengar dengan nada yang sangat berharap. Walaupun memang ada tokoh-tokoh kampus demikian itu pada berbagai universitas, termasuk pula dari ITB kehadirannya terlalu lemah.
Kebanayakan para dosen telah sangat sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri sehingga tidak banyak yang punya perhatian. Sayang karena bila saja kelompok demikian itu dapat menjadi kuat, kita akan dapat jauh lebih dapat bersuara dan berpengaruh. Mungkin sekali kampus akan dapat mempengaruhi perkembangan negara lebih baik. Dapatkah kita memenuhi pula keinginan masyarakat yang demikian sederhananya itu?

D. MASALAH PENGELOLAAN
Dalam pengelolaan suatu kelembagaan usaha, para pengelola berusaha untuk memadukan tiga unsur: Tujuan, Cara dan Sumber (Ends, Ways, Means) dalam suatu perpaduan yang terbaik. Dalam banyak hal para pengelola sering kali tanpa disengaja memutar balikkan antara Tujuan, Cara dan Sumber. Misalnya dalam pernyataan ITB akan menuju ke Universutas Riset. Apakah itu mengembangkan Tujuan, Cara atau Sumber?
Universitas sebagai organisasi servis melayani masyarakat dengan jasa-jasa untuk memajukan masyarakatnya, dengan kata lain menjadi instrumen dalam pembangunan bangsa. Jadi ukuran yang paling tepat dalam menilai hasil-hasil suatu universitas adalah sumbangannya pada pembangunan bangsa, melalui jasa-jasanya dengan memakai sumber-sumber langka masyarakat dan negara. Jadi hasil yang dituntut itu harus pula dilihat dalam keseimbanganny dengan sumber yang tersedia dan cara yang dapat dipakai.

Dalam rangka pembangunan bangsa, maka tujuan pendidikan ITB sebaiknya melihat kepada jangkauan waktu yang lebar, dan tidak hanya dalam cakrawala yang sempit. Kita harus belajar dari India dan Korea dimana kebijakannya dengan pula melihat keluar negeri, telah mendatangkan keuntungan. Kebijakan pendidikan dengan visi yang jauh itulah memberikan posisi yang menguntungkan saat ini dengan tersedianya tenaga terlatih diluar negeri dalam jumlah besar yang kembali kenegaranya pada saat diperlukan.

Marilah kita juga membuat suatu visi dimana mendidik untuk pasaran global pada akhirnya akan menguntungkan kita dalam menunjang pembangunan bangsa dikemudian, sehingga arah-arah pendidikan kita menjadi lebih jelas dan tegas.
Satu aspek dalam pembangunan bangsa yang kiranya belum optimal kita lakukan adalah dalam aspek, “Mempelajari, memperjelas dan menjaga (guardian) nilai-nilai kehidupan”. Tidak terlalu banyak program kita, baik secara formal dalam pendidikan, maupun dalam program pencerahan ke masyarakat , telah kita lakukan. Aspek itu yang juga tertera dalam tujuan institusi kita yang tercantum dalam dokumen resmi kita, kiranya masih memerlukan perhatian yang jauh lebih besar. Hal itu cepat atau lambat akan menyangkut kredibilitas kita kedepan.
Pendanaan untuk menunjang program-program kita masih meprihatinkan. Dalam meninjau permasalahan ini ada dua aspek yang menjadi perhatian para penegelola, yaitu (1). Kesejahteraan dosen, dan (2). Dana operasional dan pengembangan. Kebutuhan akan dana yang dihasilkan melalui usaha sendiri sebagai universitas BHMN sangat dirasakan urgensinya.

Kesejahteraan dosen adalah suatu masalah tersendiri, yang berkembanag melalui sejarahnya selama lebih dari 30 tahun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam perjalanan waktu itu telah terbentuk di ITB kelompok dosen yang ada dalam alur perproyekan dan berkembang didalamnya baik secara profesional maupun kesejahteraannya. Ditinjau dari aspek kesejahteraannya sudah barang tentu merupakan suatu distribusi tersendiri. Secara umum mereka ada dalam kesejahteraan kelas menengah. Jumlahnya mungkin cukup siknifikan. Kenyataan ini walaupun diketahui tidak pernah dianggap ada dalam pandangan resmi para pengelola, sehingga aspek kesejahteraan hanya dilihat dari angka-angka dalam bujet yang kurang dapat merefleksikan keadaan yang sebenarnya.

Dalam perkembangan yang asimetris itu, memang menjadi kesulitan para pengelola untuk memformulasikan kebijakan yang tepat dalam bidang kedosenan demikian itu. Bila seandainya suatu kebijakan yang tepat, dengan memperhatikan kenyataan itu dapat ditemukan, maka masalah kesejahteraan dosen melalui kebijakan bujet yang tepat, akan lebih dapat lebih mengefektifkan pemakaiannya. Dalam hal itu cara-cara non formal dengan ajakan yang akan harus ditempuh dalam menggugah partisipasi mereka.

Untuk melayani pengembangan ITB kedepan para pengelola ITB akan harus dapat memobilisasikan dosen-dosen ITB dengan spectrum yang luas, untuk mengisi semua aspek pengelolaannya. Untuk itu ITB harus mampu memanfaatkan distribusi dosen ITB yang tersedia dalam struktur BHMN, secara fair akan tetapi tegas. Untuk kepentingan pengelolaannya secara total, ITB harus dapat memanfaatkan dosen-dosen yang:
- Mahir dalam mencari dan mendapatkan proyek-proyek profesional melalui jaringan sendirinya,
- Mampu dan berambisi untuk berperan sebagai intelektual kampus menjaga kehadiran ITB dalam gerakan kemasyrakatan.
- Inovatif dalam ide-ide komersialnya dengan membantu pengembangan produk yang menjanjikan.
- Berbakat mengadminstrasikan usaha yang mengkombinasikan idealisme suatu universutas dengan realisme dunia usaha yang menyatu dalam struktur BHMN.
Melalui suatu struktur yang memadukan aspek-aspek birokrasi formal, dengan kebutuhan kelincahan dalam dunia usaha sebagai struktur non formal nya akan tetapi dalam suatu kesatuan BHMN yang jelas dan terkendali secara administratif dan akontabel dalam keuangan, maka ada harapan bahwa ITB akan dapat maju menghadapi tantangan zamannya dengan gemilang.

Bagian III
APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN ?
Mengetahui adalah tahapan mula untuk berbuat, seperti yang diingatkan oleh sajak kecil semasa remaja kita dalam pelajaran bahasa Inggris:
To read is one thing
To understand what you read is the other thing
To master what you understand what you read is the thing
To act on what you understand what you read is the only thing
Didalam konteks demikian itu, saya ingin menutup presentasi ini dengan beberapa usulan, sebagai suatu parting reminder yang mudah-mudahan bernuansakan suatu parting wisdom dari seorang emeritus, dengan harapan agar itu berkenan disanubari anda, dan lebih lagi saya akan sangat bersukur bila dapat terlaksanakan dikemudian.

Pertama:
Walaupun Zeitgeist era permulaan reformasi yang memungkinkan berkumpulnya 300 Rektor Universitas Negeri dan Swasta di ITB di tahun 1998, sudah dibelakang kita, saya masih berharap bahwa ITB kembali dapat mengumpulkan para Rektor untuk bersama-sama mengajak para politisi nasional kita, agar dapat memberikan kesempatan pada negeri ini, untuk membangun dirinya melalui pembangunan ekonomi dengan tenang, paling tidak untuk suatu perioda minimal 10 tahun. Diharapkan bahwa dengan perbaikan pada ekonomi, banyak aspek kehidupan masyarakat akan dapat berkembang kearah yang baik. Kemudian agar dapat dilicinkan jalannya untuk:
a. Mereformasi Birokrasi
b. Merasionalkan pemahaman beragama
Alternatifnya bila hal itu tidak dapat terlaksana akan sangat tidak nyaman dan akan sangat mahal bagi pengembangan kita.

Kedua:
ITB agar lebih terlibat dalam Pembangunan Bangsa melalui program yang kredibel. Satu diantaranya adalah agar ITB melibatkan secara berencana dan terstruktur dalam program “Merasionalkan Masyarakat” dalam rangka mengisi salah satu tujuan kita bernegara, yaitu Mencerdaskan Bangsa. Program ini adalah pencerahan masal, berjangka panjang dan memerlukan desain yang cermat, dengan mendefinisikan secara jelas target populasi yang ingin dituju.
Dilihat sebagai pemahaman, rasionalitas kemasyrakatan yang diperlukan cukup sederhana, yaitu dapat didekati melalui beberapa topik sebagai dibawah ini:
1. Memahami, tidak ada sesuatu tanpa sebab.(Leibniz)[20]
2. Melalui penggunaan bahasa, mengaplikasikan aturan berpikir yang jelas dalam menguraikan sebab dan akibat.
3. Memahami perlunya etika kehidupan dalam bermasyarakat.
4. Mengerti perbedaan antara moralitas dan legalitas.
Suatu program pencerahan dapat disusun melalui topik-topik itu.
Bila kemudian ITB telah mendapatkan percaya diri dalam program yang sulit itu, maka barulah ITB menyebarkannya pada universitas lainnya, dan mungkin sekali bahwa ITB akan menjadi Pusat Pencerahan demikian itu.

Ketiga:
Agar ITB dapat lebih memanfaatkan dosen-dosen ‘profesionalnya’.
Diversifikasi pengalaman yang terkumpul pada staf dosen ITB dalam perkembangannya sejak lebih dari tigapuluh tahun yang lalu, adalah aset yang tidak ternilai dan tidak tergantikan, merupakan kekayaan dan kekuatan ITB yang sebenarnya. Sebagai aset ia akan dapat dimanfaatkan dalam program-program yang tepat, melalui cara-cara yang appropriate. Melaluinya maka lingkup program-program yang akan dapat ditangani akan berganda yang akan meningkatkan kredibilitas ITB dengan sangat kedalam maupun keluar komunitas ITB.

Keempat:
Dapatkah ITB mendorong terbinanya kelompok intelektual kampus? Pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi dosen-dosen ITB dalam berbagai pertemuan dan kegiatan masyarakat, sangat dihargai, dan bahkan sangat diharapkan. Sayangnya kehadiran dosen-dosen ITB dalam kegiatan intelektual demikian itu sangat kurang. Telah tiba waktunya bahwa ITB mulai memupuk secara sadar kelompok intelektual kampus, untuk memperlihatkan bahwa program demikian itu ada dalam kesadaran ITB merealisasikan dirinya. Hal itu akan meningkatkan kredibilitas ITB dikalangan intelektual kampus lainnya dengan sangat. Lebih-lebih lagi bila ITB sesuatu saat mensponsori program kegiatan intelektual demikian itu.

Kelima:
Mempertahankan posisi ITB sebagai ‘terbaik’ adalah imperatif.
Input tenaga kerja baru kita, ada pada tingkat disekitar 30-40 orang per tahun.[21] Bila jumlah yang sudah sangat kecil itu disertai ketidak mampuan kita untuk menyiapkan sarana pendidikan yang lebih “up to date”, maka posisi kita sebagai lembaga yang terbaik dinegara kita, mungkin sekali tidak akan lama lagi dapat dipertahankan, karena diluar kita ada beberapa universitas yang ada dalam keadaan pengembangan yang lebih menguntungkan. Hal itu sebaiknya dihindarkan dengan usaha pengembangan institusi yang lebih terarah, memanfaatkan semua sumber yang dapat digerakkan.

Keenam (terakhir):
Sangat diharapkan bahwa ITB tetap memelihara dirinya sebagai pulau-pulau integritas dan kebebasan dan menjadi aset bangsa yang tidak tergantikan dalam mendukung pembangunannya.

Rekan-rekan yang saya cintai,
demikianlah pesan-pesan saya kepada anda, dengan harapan bahwa ada sesuatu yang akan tertinggal dalam ingatan anda setelah pertemuan ini berlalu.

KATA PENUTUP
Dengan selesainya menyampaikan pesan-pesan itu, tibalah sekarang saatnya bagi saya mengakhiri presentasi ini dengan harapan bahwa ia akan dapat memperkaya pengalaman berpikir para hadirin semuanya. Saya ingin menyampaikan terima kasih atas kesabaran Ibu-ibu dan Bapak-bapak semuanya mengikuti presentasi ini, yang mudah-mudahan tidak membosankan. Sebagai pemikiran maka sudah sewajarnya bahwa apa yang saya sampaikan itu akan menimbulkan pro dan con, dan marilah kita bertukar pikiran tentang itu pada kesempatan yang tepat.

Seingat saya belum pernah saya mendengar adanya presentasi dari seorang Profesor Emeritus dalam tradisi kehidupan universitas. Yang saya kenal adalah orasi ilmiah pada saat pengukuhan seorang Guru Besar, yang di ITB sudah menjadi langka. Jadi pada permulaan perioda keguru-besaran seseorang. Kesempatan yang saya dapatkan adalah sebaliknya, yaitu pada akhirnya. Bahwa itu sangat berkesan bagi saya secara pribadi, lebih-lebih lagi sebagai yang pertama-tama mendapatkan kesempatan yang sangat terhormat demikian itu, merupakan suatu keniscayaan yang akan saya kenang dengan penuh keharuan.

Sebagai kata-kata akhir perkenankanlah saya dari mimbar ini menyampaikan terima kasih pada Rektor, anggauta pimpinan ITB lainnya, rekan-rekan Guru Besar baik yang masih aktif, emeritus atau yang telah purna bakti, dan rekan-rekan dosen lainnya, dimana dalam lingkungan mereka saya telah mendapatkan kesempatan untuk merealisasikan hidup saya secara berarti, melalui segala derita dan penghargaan yang dilimpahkan pada saya yang berujung pada suatu kehormatan sebagai Guru Besar Emeritus, yang sangat saya hargakan. Kepada semuanya itu terima kasih saya dan kebanggaan saya untuk dapat bekerja bersama mengisi riwayat ITB selama 50 tahun.

Kepada Dekan dan rekan-rekan di Sekolah Teknik Elektro dan Informatik (STEI) yang bagi saya adalah tetap Departemn Elektro ITB, dimana saya berkembang, dari Asisten Ahli sampai Guru Besar Emeritus dan yang sampai saat ini oleh kalian masih diterima sebagai bagian dari komunitas elektro yang saya cintai, saya sampaikan secara khusus dari lubuk hati saya yang paling dalam, kebanggaan dan terima kasih saya dapat mengabdi bersama kalian dalam keharmonisan rekanan sekerja.

Dari mimbar ini saya teringat kembali kepada guru-guru saya sejak dari FT-UI di Bandung, di USA, di Nederland, dan secara khusus pada Prof. J.G. Niesten (alm) Guru Besar di Departemn Elektro FT-UI di Bandung ditahun 50-an, dimana saya merasa telah ditempa secara keras olehnya, kepada semuanya itu saya akan selalu mengenang kehadiran mereka dalam hidup saya dengan rasa hormat dan terima kasih.

Kepada alumni bekas mahasiswa saya, dimana banyak dari kalian telah menjadi tokoh-tokoh nasional dibidang bisnis, industri, politik, pendidikan dan pemerintahan, saya sampaikan selamat atas keberhasilan kalian dengan kebanggaan yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh seorang dosen. Kepada para mahasiswa saya, kalian adalah inspirasi bagi saya untuk berbuat yang sebaiknya saya mampu, membentuk kalian menjadi tenaga pembangunan harapan bangsa. Raihlah harapan itu dengan bekerja keras, karena hanya dengan cara itu kemenangan akan berpihak pada kalian.
Kepada seluruh keluarga saya, baik yang hadir maupun yang tidak sempat hadir disini, saya hargakan doa, dukungan dan kecintaan yang telah kalian limpahkan, sehingga menghasilkan ketenangan jiwa yang memungkinkan saya dapat menyelesaikan tugas-tugas saya berkatnya. Ketulusan dukungan demikian itu adalah sumber kekuatan bagi saya menghadapi tantangan kehidupan dengan tegar, yang saya terima dengan haru dan terima kasih.

Secara khusus kepada isteri, anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang sangat saya cintai, kalian adalah segalanya yang mendorong, menginspirasikan dan memberikan arti pada kehidupan ini yang secara ikhlas kita jalani bersama. Bilapun ada yang menghargainya, itupun karena kalian semuanya.

Para haadirin semuanya,

Segala ini adalah berkat karuniaNya, yang saya terima dengan penuh rasa sukur dan bersujud dihadapanNya dengan penuh haru atas kenikmatan yang dilimpahkanNya sehingga pada usia lanjut demikian ini kita masih dapat bertemu dalam suatu pertemuan penuh makna bagi saya.
Sebagai penutup, karena perubahan adalah hasil perbuatan kita bersama, maka saya ingin menutupnya dengan untaian kata-kata indah hasil penyair Belanda, yang dipakai oleh Bung Hatta ketika membela diri disidang pengadilan di Negeri Belanda delapan puluh tahun yang lalu, dan yang pula saya sampaikan dalam Dies Natalis ITB th 1978 semasa pergolakan mahasiswa ITB,
Er is maar een land
dat mijn land kan zijn
Het groeit met de daad
En die daad is mijn.

Diterjemahkan secara bebas menjadi,
Hanya ada satu negara
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan
dan perbuatan itu perbuatanku.

Terima Kasih, Bandung 8 Agustus 2008

Tidak ada komentar: