Sesungguhnya pemilu adalah kegiatan rutin dalam sistem demokrasi. Rakyat menseleksi dan selanjutnya memilih wakil rakyat dan/atau pemimpin pemerintahan untuk periode waktu tertentu. Dalam demokrasi pemilu adalah implementasi kedaulatan rakyat. Selaku pemilik kedaulatan, selayaknya, bahkan seharusnya, mudah bagi rakyat untuk melaksanakan pemilu. Artinya undang-undang tentang pemilu yang dibuat wakil-wakil rakyat di parlemen harus mudah dimengerti agar pemerintah sebagai pelaksana undang-undang dan rakyat, yang berkepentingan atas kedaulatannya, mudah melaksanakannya. Maka menjadi ganjil bila undang-undang tentang pemilu berisi aturan rumit dan/atau ‘njlimet’’, yang notabene untuk rakyatnya sendiri. Di sejumlah negara (sistem parlementer) undang-undangnya bahkan menetapkan pemilu harus terselenggara dalam satu hingga maksimum tiga bulan pasca pembubaran parlemen. Siapa yang boleh memilih? Pemahaman umum adalah bahwa yang mempunyai hak pilih adalah rakyat yang telah memenuhi syarat tertentu (a.l. umur). Penggunaan nomenklatur rakyat di sini sesungguhnya kurang tepat. Lebih tepat disebut bahwa “yang memiliki hak pilih adalah warga negara”. Ini berarti bahwa hak pilih berlaku untuk rakyat dan pejabat/petugas negara. Hakim, pegawai negeri, polisi, dan militer adalah pejabat/petugas negara yang juga punya hak pilih. Tidak demikian dengan hak dipilih. Hak dipilih hanya ada pada rakyat. Artinya yang mengisi jabatan politik (legislatif dan eksekutif) adalah rakyat. Hakim, pegawai negeri, polisi, dan militer selaku pejabat negara tidak punya hak dipilih. Logikanya sederhana, karena jabatan politik yang konotasinya kekuasaan dan sifatnya sementara atau memiliki periode masa jabatan. Pejabat jabatan politik kembali sebagai rakyat biasa tatkala tidak lagi menjabat. Pejabat negara, selaku petugas atau alat negara, harus bebas dari pengaruh politik praktis dan oleh karenanya tidak boleh terjun ke dunia politik yang bernuansa pro dan kontra itu. Tidak sederhana dan memang tidak boleh mudah bagi pejabat negara yang mengemban tugas negara, untuk melepaskan jabatan di kurun masa jabatannya (sementara atau selamanya) hanya karena ia mengincar jabatan politik. Dengan demikian menjadi jelas makna adagium demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Asas pemilu adalah ‘bebas dan rahasia’. Rakyat bebas menentukan pilihan tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh apa atau siapapun, oleh karenanya harus terpenuhinya asas kerahasiaan dalam menetukan pilihan. Kata bebas juga mengartikan bahwa konstituen pemilih bisa menggunakan atau tidak menggunakan haknya. Pemilu adalah hak bukan kewajiban. Logikanya sederhana apabila pemilu diposisikan sebagai kewajiban bagi rakyat maka menjadi tidak berarti lagi makna kedaulatan rakyat. Digunakan atau tidaknya hak memilih oleh konstituen pemilih memiliki dua arti yang berbeda. Di negara yang sistem demokrasinya sudah ajeg, ketidakikutsertaan konstituen pemilih lebih diartikan sebagai kepercayaan rakyat akan produk pemilu. Namun, bagi negara yang sistem demokrasinya belum ajeg, ketidakikutsertaan konstituen pemilih bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan, skeptisisme, ataupun apatisme masyarakat terhadap produk pemilu. Banyak atau sedikitnya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang berlaku.
B. Pemilu Sistem Parlementer dan PemiluSistem Presidensial.
Dalam sistem parlementer obyek yang diperebutkan dalam pemilu adalah parlemen. Oleh karena jumlah anggota parlemen banyak, biasanya ratusan, maka diperlukan kelompok, dalam hal ini partai, atau koalisi partai, untuk bisa menguasai suara mayoritas di parlemen. Melalui parlemen partai pemenang, dengan atau anpa koalisi, membentuk kabinet pemerintahan (eksekutif) dan jabatan Perdana Menteri adalah pimpinan tertinggi partai pemenang. “Kontrak Sosial” adalah antara partai pemenang dengan rakyat. Umum dan biasa terjadi, dalam sistem presidensial, Perdana Menteri merangkap sebagai Ketua Parlemen sekaligus Ketua Partai (diffusion of powers). Sistem parlementer biasa disebut sebagai ‘parlemen yang memerintah’. Partai yang kalah dalam pemilu tidak ikut memerintah dan menempatkan diri sebagai partai oposisi atau netral. Sistem parlementer biasa disebut sebagai ‘sistem tradisi partai kuat’.Dalam sistem presidensial obyek utama yang diperebutkan adalah presiden. “Kontrak Sosial” adalah antara presiden terpilih (selaku individu yang dipercaya rakyat) dengan rakyat. Fungsi parlemen kendati juga dipilih melalui pemilu bukan sebagai pemegang kontrak sosial melainkan sebagai lembaga yang menterjemahkan kontrak sosial ke dalam undang-undang (yang dengan itu maka kontrak sosial dimungkinkan untuk dilaksanakan) sekaligus sebagai lembaga pengontrol kinerja presiden. Karena kontrak sosial adalah antara individu presiden dengan rakyat maka dalam sistem presidensial tidak dikenal adanya partai oposisi. Kelompok kepentingan yag memperjuangkan aspirasi tertentu yang bersifat spesifik umumnya lebih berpengaruh atas lahirnya kebijakan/undang-undang ketimbang partai. Sistem presidensial biasa disebut ‘sistem tradisi partai lemah’.
C. Pemilu di Indonesia.
Sejarah mencatat, tahun 1955 (di era UUDS 1950), dengan segala kesederhanaan, Indonesia bisa menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR dan pemilu untuk memilih anggota konstituante, hanya dalam selang waktu tiga bulan (pemilu DPR, 29 September 1955 dan pemilu untuk konstituante, 15 Desember 1955). Pemilu 1955 banyak dikenang sebagai pemilu paling demokratis. Selanjutnya, tahun 1957, diselenggarakan pemilu untuk memilih DPRD (provinsi). Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional. Di era itu pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar. Kesederhanaan pemilu bukan/tidak karena negara tidak memiliki anggaran yang baru merdeka kondisi keuangan negara memang terbatas). Tahun 1971, Orde Baru menghadirkan kembali pemilu dalam khasanah kehidupan bernegara. Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekali gus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semcam itu maka pemilu diberi predikat sebagai “Pesta Demokrasi”. Sebagai layaknya hajatan besar, tentu diperlukan biaya yang besar pula. Di era Orde Baru, Golkar bahkan mempersiapkan pemilu berikutnya sejak di hari pertama setelah diperoleh keputusan resmi pemenang pemilu. Artinya persiapan pemilu dilakukan selama 5 (lima) tahun! Di era Orde Baru, dengan motto-nya yang terkenal, “Politik No Ekonomi Yes”, dilakukan pembatasan jumlah partai. Pemilu pertama Orde Baru, 1971, masih diikuti oleh 9 (sembilan) partai politik dan 1 (satu) ‘bukan partai’ yakni Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya sejak tahun 1977, hingga tahun 1997 pemilu diselenggarakan secara berkala setiap lima tahun sekali diikuti oleh 3 (tiga) kontestan, 2 (dua) partai politik, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewadahi aspirasi kebangsaan termasuk di sini aspirasi agama non muslim dan Partai Pembangunan Indonesia (PPP) yang mewadahi aspirasi agama Islam dan 1 (satu) ‘bukan partai’ Golongan Karya (Golkar, berintikan ABRI, Birokrasi, dan golongan ‘non partai’). Dari jumlah 500 kursi DPR (merangkap sebagai anggota MPR), yang ‘dipemilukan’ adalah 400 buah kursi karena ABRI, yang tidak ikut pemilu, memperoleh kursi tetap 100 buah. Anggota MPR Utusan Golongan (UG) dipilih dan diangkat Presiden dan Utusan Daerah (UD) dijabat oleh Muspida yakni Pangdam, Kapolda, Kajati, Gubernur, dan Ka DPRD Tk I. Sejak pemilu 1971 hingga pemilu 2009 ‘pemilu borongan’ sepertinya sudah menjadi pilihan baku sistem pemilu di Indonesia.Satu tahun pasca tumbangnya Orde Baru (1999) diselenggarakan pemilu yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan partai), anggota DPR, DPRD Tk I, dan DPRD Tk II. Mulai diperkenalkan lembaga khusus yang bertugas menyelenggarakan pemilu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) namanya. Obyek yang dipilih tidak berbeda, mencoblos tanda gambar partai. Entah oleh banyaknya partai entah oleh aturannya yang memang kurang jelas, di era yang katanya demokrasi, rakyat mulai merasakan pemilu kali ini ruwet dan njlimet. Masyarakat mulai ‘diperkenalkan’ dengan ‘budaya’ protes-memprotes hasil pemilu. Tahun 2004, adalah pemilu kedua pasca Orde Baru, selain memilih anggota legislatif juga mulai diperkenalkan pemilu untuk memilih presiden secara langsung. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 (dua puluh empat) partai dengan menambah satu obyek, memilih anggota DPD (bukan dari partai). Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai nasional dan 6 partai lokal, setiap pemilih memperoleh kesempatan untuk menjatuhkan pilihan pada calon anggota legislatif, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD (yang kini bisa berasal/dicalonkan partai). ‘Budaya’ protes-memprotes hasil pemilu kembali marak.Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai (masih di tambah dengan calon independen dan 6 partai lokal di Aceh). Tidak kurang ruwet dan njlimet dibanding dengan yang sudah-sudah. Diperkirakan tidak kurang dari 300 hingga 500 calon yang terdaftar resmi di KPU di setiap daerah pemilihan bertarung atas nama partai (dan a.n. independen) memperebutkan kursi DPD, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, hasil perolehan suara partai di DPR akan menentukan komposisi dan/atau konfigurasi calon presiden/wakil presiden. Untuk pemilu legislatif diberlakukan metode baru, bukan mencoblos, melainkan dengan cara ‘mencontreng’ dua kali. Hal yang memang logis karena kendati kertas lembaran yang memuat nama partai dan nama calon sudah cukup besar namun, dikarenakan banyaknya nama calon, kolom obyek masih terlalu kecil apabila pilihan dilakukan dengan cara mencoblos dan masih riskan apabila ‘mencontreng’ hanya dilakukan sekali (contrengan bisa melebar ke kolom lain). Pertanyaannya adalah seberapa besar kemampuan daya ingat (memori) konstituen pemilih dalam menengarai obyek yang akan dipilih yang jumlahnya ratusan itu? Sudahkah diperhitungkan kesulitan yang akan dialami oleh konstituen buta aksara dan/atau yang telah renta. Di sisi lain bagaimana calon-calon, yang jumlahnya ratusan itu, mengkampanyekan diri dan partainya di atas begitu terbatasnya ruang umum yang tersedia di hampir seluruh daerah pemilihan. Berapa besar daya tampung media cetak dan elektronik memberikan porsi yang adil bagi setiap calon? Berapa besar dana yang harus dikeluarkan calon, di luar anggaran negara sebesar Rp 22,7 trilyun, untuk membiayai kampanye di ajang pertarungan yang terlanjur berpredikat sebagai pesta demokrasi. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut berkait langsung dengan kualitas perolehan hasil pemilu.
** Hendarmin Ranadireksa , Perhimpunan Mahasiswa Bandung 1962 **
** Sekjen Forum Bandung **