Minggu, 05 Mei 2019

Rahman Tolleng PMB 1957


NEGERI INI MILIK KITA BERSAMA 


Sebuah Renungan bagi Kaum Muda 
Oleh A. Rahman Tolleng 

Wij zijn de bouwers van de tempel niet 
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen 
Wij zijn het geslacht dat moet vergaan 
Op dat een betere rijze uit onze graven 
(Henriëtte Roland Holst)

Terus terang, saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar telah mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu. 60 tahun yang 
silam, saya baru duduk di bangku SMA di Makassar. Puisi yang digubah oleh seorang 
perempuan sosialis Belanda ini seakan melekat di benak saya. 

Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafalkan terjemahan bebasnya di luar kepala: “Kami ini bukanlah pembangun candi / kami hanyalah pengangkut bebatuan / Kami adalah angkatan yang musti punah / Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami”.

Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi 
Kemerdekaan. Dari segi mutu sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi 
Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” --sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi yang lebih sempurna....”

Apa lacur? Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh. 

Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan. Resminya, bukan kerajaan memang --sungguhpun tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monark di jaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya. 

Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”. Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. 

“Patriotisme” menuntut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak-hak orang lain, sedangkan “nasionalisme” memuja kebesaran bangsa dan menjunjung tinggi apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda. 

Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi "nasionalisme” yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing. 

Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan “tugas patriotik” --meminjam istilah Carlo Rosselli, seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II--tidaklah berarti dan harus selalu berupa tindakan heroik. Patriotisme bukanlah “penyerahan” diri kepada tanah air, mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting. 

Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama. 

Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya 
bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara yang menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan 
yang reaksioner dipersiapkan atau disahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan.

Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan, sembari Anda bisa tetap bergembira, belajar, atau bekerja menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing. 

Beberapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambang negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang saya terperangah dan kagum melihatnya. 

Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme. 

Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda: “Your Country Needs You” --Negeri Membutuhkan Anda. 

Jakarta. 1 Oktober 2012

Rahman Tolleng 

(Surat ini dimuat di buku "Surat dari dan untuk Pemimpin", rangkaian program Menjadi Indonesia - Tempo Institute) 

*Mengenang Rahman Tolleng*


============================================= 


*Sarwono Kusumaatmadja: Mahasiswa Perlu Terlibat Merawat Keberagaman*

_AYOBANDUNG.COM ~ Kamis, 04 April 2019 ~ Adi Ginanjar Maulana_

Organisasi mahasiswa perlu mengembangkan semangat keberagaman demi Indonesia lebih baik. 
Dalam diskusi terbuka menyambut Golden Jubilee Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) Angkatan 1969, Rabu (3/4), usulan ini mencuat demi menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Adalah Sarwono Kusumaatmadja yang mengingatkan hal itu. Mantan menteri yang juga anggota PMB angkatan 1963 itu menyebut energi negatif banyak muncul akhir-akhir ini yang mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka, organisasi mahasiswa perlu mencari relevansi keberadaannya dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Berorganisasi, kata Sarwono, berarti membangun jaringan kerja sama di antara orang-orang yang memiliki energi positif. Jaringan kerja sama itu bisa berguna sepanjang masa.
"Saat ini Indonesia memerlukan energi positif, dan mahasiswa bisa mengambil peran di sini," ujar Sarwono di hadapan sekitar 100 anggota PMB melalui keterangan resmi.

Sarwono seperti hendak menegaskan bahwa PMB memiliki karakter kolektif mengutamakan keberagaman. Keberagaman memang perlu dirawat karena Indonesia berawal dari keberagaman. Pancasila menjamin keberagaman.

Hal yang diungkap Sarwono ini di tahun 1950-an sudah diangkat oleh PMB. 
Koran berbahasa Belanda _'Preanger Bode"_ 1 November 1957 memuat hasil polling majalah _"IDEA"_ yang diterbitkan PMB. Dari 283 formulir pertanyaan yang disebar, ada 222 yang dikembalikan. Hanya satu responden yang tidak setuju Pancasila sebagai dasar negara. Sebanyak 196 responden setuju Pancasila sebagai dasar negara, tetapi ada 16 orang yang menyetujui Pancasila sebagai dasar negara dengan syarat dan sembilan responden abstain.

Iwan Abdurrahman, anggota PMB angkatan 1965, mengingatkan pentingnya individu-individu memainkan perannya seperti yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Individu-individu dengan energi positif itu perlu bersatu dalam jaringan kerja sama. 
"Networking energi positif yang dibangun akan tetap berguna di masa datang," ujar pencipta lagu "Melati dari Jayagiri" itu.

Anggun Anggrekawati, Ketua PMB 2018 menyatakan dalam setahun terakhir PMB telah mencoba terlibat dalam upaya merawat keberagaman di Bandung. "Di kampus-kampus saya lihat ada harapan agar PMB terlibat memberi warna merawat keberagaman di kampus-kampus," ujar Anggun.

Henny Butheim, aktivis pemberdayaan masyarakat yang juga anggota PMB angkatan 1970 menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa juga bisa terlibat dalam pemberdayaan masyarakat.

Hal yang sama juga ditegaskan Erna Witoelar, mantan Menteri yang anggota PMB angkatan 1965. Untuk lingkup Bandung, mahasiswa bisa terlibat berbuat sesuatu yang bisa memperlihatkan karakter kota Bandung sebagai Kota Kembang. Seperti misalnya membantu pemerintah kota membuat hutan kembang.

Di diskusi yang diadakan di Ruang Gibraltar Menara 165 Jakarta itu hadir pula sebagai pembicara: Bachtiar Aly, mantan Dubes RI di Mesir yang juga anggota PMB angkatan 1969, Ade Indira Sugondo mantan anggota DPR yang juga anggota PMB angkatan 1970, Tutun Suntana arsitek perancang yang juga anggota PMB angkatan 1964, Ahmad Bukhari Saleh aktivis 66 yang juga anggota PMB angkatan 1964, dan Faris Maryanto Ketua PMB 2019
 

Tidak ada komentar: