Rabu, 08 Oktober 2008

Menolak Pemimpin yang Abai

republika, sabtu 4 oktober 2008
Menolak Pemimpin yang Abai
Andi Sahrandi Aktivis Antikorupsi
Pemimpin seperti apakah yang tega melakukan pembiaran terhadap rakyatnya yang sedang kesusahan? Sampai hari ini, kita masih bisa melihat, mendengar, dan merasakan aksi pembiaran oleh pemimpin negara terhadap rakyat.
Lihatlah, pada Ramadhan lalu, pengungsi lumpur Lapindo masih menjalaninya di tenda pengungsian. Diterbitkannya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 belum menyudahi penderitaan mereka.
Peraturan Presiden yang mengatur tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo itu salah satunya mengatur tanggung jawab PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Pemerintah mengambil alih tanggung jawab Lapindo terhadap area di luar peta terdampak. Ada tiga desa yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab itu belum juga dilaksanakan. Pembiaran telah dilakukan kepada pengungsi itu. Abai terhadap rakyat rupanya menjadi hal biasa di Indonesia. Dengarlah pula keluhan rakyat yang terbebani biaya hidup. Aksi korporasi Pertamina ikut menambah beban rakyat. Tak ada juga keberanian dari pemimpin negara ini untuk membatalkan aksi korporasi Pertamina dalam menaikkan harga gas, menyusul aksi menaikkan harga bahan bakar minyak yang telah membuat rakyat tambah sengsara itu. Yang ia lakukan hanya berjanji tak akan ada kenaikan harga gas lagi sampai pemilu 2009.
Oh, lagi kampanye ya. Rasakan pula nikmatnya hidup dengan listrik yang mati-hidup karena pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan pasokan batu bara. Pemerintah harus bisa bertindak tegas agar tidak didikte pengusaha. Terlalu lunak mengikuti keinginan pengusaha membuat pemerintah tak mempunyai sikap tegas membela kepentingan rakyat.
Jika pemerintah bersedia memenuhi keinginan segelintir orang yang kebetulan adalah pengusaha, seharusnya pemerintah juga bersedia memenuhi keinginan rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat memilih bukanlah agar seseorang menjadi presiden untuk membiarkan adanya pengabaian terhadap hak-hak rakyat. Rakyat memilih presiden juga bukan agar presiden terpilih memilih pembantu-pembantu yang ngebet memenuhi kebutuhan pribadi. Ada yang ngebet membuat Blue Energy dan Supertoy HL2.
Memilih pemimpin Tentunya, rakyat sekarang telah pintar memilih pemimpinnya. Maka, rakyat tak akan lagi terkecoh oleh penampilan luaran. Rakyat tentu akan memilih pemimpin yang memiliki komitmen kerakyatan dan humanis.
Saat ini ada banyak orang yang merasa bisa menjadi presiden. Kalau cuma 'merasa bisa', semua orang bisa melakukannya. Tapi, yang diperlukan adalah orang yang 'bisa merasa'. Yang diperlukan adalah pemimpin yang bisa merasakan denyut kebutuhan rakyat.
Melihat kemunculan mereka yang merasa bisa itu, kita bisa menduga mereka ingin menjadi presiden bukan karena mereka cinta negeri ini, melainkan karena cinta pada diri sendiri. Mereka diduga memiliki dendam pribadi terhadap situasi. Mereka diduga menyatakan siap landasannya karena iri terhadap yang lain: Merasa lebih tegas, lebih senior, dan sebagainya.
Untuk menjadi calon presiden, tentu membutuhkan uang yang tak sedikit. Akan ada banyak hal yang perlu disiapkan, termasuk membeli dukungan dari partai lain, jika partainya tidak mencukupi syarat yang dibutuhkan untuk bisa mengajukan calon presiden.
Itulah risiko banyaknya partai peserta pemilu. Jarang yang mampu mengeruk persentase suara yang disyaratkan untuk bisa mengajukan calon presiden, sehingga saat pengajuan calon presiden perlu saling mendukung lewat besar-kecilnya uang yang ditawarkan. Jika demikian, orang yang tak punya duit jangan mengajukan diri menjadi calon presiden, karena tak bisa membeli dukungan dari partai-partai.
Kecuali jika ia bisa mendapatkan banyak uang dari pengusaha, sehingga ia menjadi boneka pengusaha itu. Saat ini tak ada lagi iklan di televisi, yaitu iklan dari seorang muda yang menyatakan diri siap memimpin negeri ini jika diberi amanah, karena sumbangan dana dari pengusaha kepada dirinya telah distop.
Pemilu di Indonesia lantas menjadi pemilu yang mahal biayanya. Pemilihan kepala desa saja, menghabiskan banyak uang. Ada calon kepala desa yang menghabiskan Rp 2 miliar, itu pun belum jaminan terpilih sebagai kepala desa. Untuk menjadi camat, juga butuh banyak dana untuk menyogok, itu pun belum tentu terpilih sebagai camat yang akan ditunjuk.
Untuk bisa mengikuti pemilihan bupati wali kota, juga dibutuhkan banyak dana untuk membeli dukungan dari partai-partai. Habis uang Rp 10 miliar sebagai calon bupati, belum jaminan bisa memenangkan pemilihan. Calon bupati Ponorogo yang tak terpilih, kemudian masuk ke rumah sakit jiwa karena tak kuat menanggung beban utang.
Untuk bisa mengikuti pemilihan gubernur juga membutuhkan banyak dana pula. Untuk menjadi presiden, lebih-lebih lagi. Dana Rp 600 miliar belum tentu cukup untuk biaya sang calon presiden.
Alangkah bermanfaatnya jika dana itu digunakan untuk membantu menyejahterakan rakyat tanpa harus disertai dengan keinginan menjadi presiden.
Adanya banyak calon pemimpin negeri yang muncul bukan karena rasa cinta pada bangsa dan negara tentu membuat rakyat bingung memilih. Jika mereka menyatakan semua calon tak layak dipilih, nyatanya mereka harus memilih demi tidak menjadi golput. Tapi, jika harus tetap memilih, nyatanya tak ada calon yang memadai --paling tidak hingga saat ini.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bersedia mencintai bangsa dan negaranya. Karenanya, ia akan mencintai rakyatnya. Jika rakyatnya mengalami kesusahan, dengan kebijakannya ia akan membantu mengatasi kesusahan rakyatnya. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mempunyai rasa percaya diri bahwa ia mempunyai kekuasaan penuh dari rakyat untuk digunakan sebagaimana seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.
Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang setelah mendapatkan mandat dari rakyat, tapi lantas mengabaikan rakyat dan memilih memanjakan pengusaha-pengusaha yang membiayai kampanyenya. Dengan kata lain, bangsa ini tak butuh pemimpin yang berutang budi kepada pengusaha, melainkan yang berutang budi kepada rakyat. Bangsa ini tak butuh pemimpin yang sibuk berbagi kekuasaan. Bangsa ini juga tak butuh pemimpin yang di sekelilingnya adalah orang-orang yang sibuk memanfaatkan kedekatannya untuk kepentingan pribadi.
Jika kita tahu bahwa mereka yang mencalonkan diri itu selama ini tak memperhatikan rakyat, ya lebih baik tak usah dipilih. Kita perlu menatap masa depan. Karenanya, yang harus dipilih adalah pemimpin-pemimpin yang mempunyai visi ke depan dan tentu saja bersih, serta lebih mementingkan kebutuhan rakyat daripada kebutuhan kelompok lain selain rakyat.
Anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung tahun 1967

Tidak ada komentar: