republika, ahad 27 juli 2008 Levende Wayangpoppen Oleh Priyantono Oemar, Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 89
Ronggowarsito mempunyai tembang yang pas buat para sultan di Jawa, di bagian terakhir Serat Kalatidha. Isinya menggambarkan posisi raja utama dengan para pembantu yang yang jagoan, tapi tak mampu menjalankan tugasnya, yaitu mencegah kalabendu (bencana):
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing kalabendu
Di abad ke-18, para sultan di Jawa (tengah bagian selatan) itu menjadi penguasa karena perkenan Belanda. Mereka pun hidup dari subsidi Belanda. Dalam studinya, Breton de Nijs pada 1961 menyebut para sultan itu dengan istilah levende wayangpoppen.
Boneka-boneka hidup. Sebagai boneka hidup, mereka sesuai dengan pepatah Jawa: Kacang mangsa ninggal lanjaran (kacang panjang takkan mungkin meninggalkan tiang perambatnya).
Tiang perambat, sepertinya, juga tak mungkin meninggalkan kacang panjang. Para sultan Jawa adalah kacang panjang, Belanda adalah tiang perambat. Karena Belanda menjadi tempat hidup para sultan, susah rasanya bagi Belanda meninggalkan para sultan itu. Maka, ketika Diponegoro mendapat perintah dari Ratu Roro Kidul agar merebut Jawa dengan melakukan perlawanan terhadap para sultan, Belanda pun berada di belakang musuh-musuh Diponegoro. Tiang perambat yang berbeda, saat ini masih berdiri untuk kacang-kacang yang berbeda pula. Jika mau kembali ke masa kecil, kita bisa membuat imajinasi liar soal kacang panjang dan tiang perambat ini. Dalam imajinasi itu, kacang-kacang itu tumbuh subur. Meski kacang lokal, tapi mendapat pupuk dari luar. Kacang-kacang itu kemudian berbuah boneka-boneka hidup. Bisa bicara, membela mati-matian tiang perambat yang diserang banyak orang.
Boneka-boneka itu menggunakan liberalisme untuk menyerang balik orang-orang yang akan mencabut tiang perambatnya. Boneka-boneka itu pun menggunakan media untuk kampanye mereka. Di dalam negeri, mereka mengusung kepentingan dari kelompok kepentingan swasta. Bukan dari kelompok kepentingan umum. Mereka memasang iklan soal perlunya mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak. Mereka juga tak keberatan atas upaya menjual aset-aset negara, untuk kemudian mengatakan lewat acara di televisi: Save Our Nation.
Demokrasi telah memberikan kesempatan kepada siapa saja di bumi Indonesia ini. Dalam dunia khayali kanak-kanak itu, boneka-boneka hidup yang muncul dari buah kacang panjang panjang itu juga ingin ikut pemilihan presiden. Mereka merasa mampu mengelola negeri ini, untuk memenuhi kepentingan dari kelompok kepentingan swasta itu. Mereka merasa tak lebih jelek dari calon-calon lain yang sudah lebih dulu menyatakan siap maju. Dengan liberalisme sebagai bahasa krama inggil mereka, boneka-boneka hidup itu merasa sudah dimanusiakan oleh kelompok kepentingan swasta itu. Dengan liberalisme sebagai bahasa krama inggil, tentu boneka-boneka hidup itu tak akan bisa memahami bahasa ngoko yang dipakai oleh kelompok kepentingan umum, yang tak setuju aset-aset bangsa digadaikan. Perdebatan dengan dua bahasa itu tentu tak nyambung satu sama lain. Tapi, tiang perambat tak peduli terhadap hal itu, sebagaimana halnya dulu, Belanda pada mulanya juga tak peduli pada pertengkaran masyarakat Samin yang menggunakan bahasa ngoko dengan kelompok keraton yang menggunakan bahasa krama inggil. Toh, pada akhirnya, Belanda menggunakan kekerasan juga untuk menghadapi kelompok Samin yang terdiri dari para petani gurem itu.
Masih dalam imajinasi yang seolah-olah sebuah kenyataan itu, para dalang dari kelompok kepentingan swasta memainkan boneka-boneka hidup sedemikian bagusnya. Karenanya, di panggung, boneka-boneka hidup itu mampu menyita perhatian penonton. Huebat.... Wayang beber saja kini sudah punah. Tak ada lagi dalang yang mampu memainkan wayang beber sebagaimana halusnya pertunjukan wayang beber di masa Majapahit.
Dan, di era modern ini, kelompok-kelompok kepentingan swasta mampu menciptakan levende wayangpoppen dari kacang panjang, dan memainkannya dengan teknik-teknik permainan mutakhir. Seolah, dalang-dalang itu tak menggerak-gerakkan boneka-bonekanya. Boneka-boneka itu, terlihat natural bergerak memainkan perannya mewakili kepentingan- kepentingan sang dalang. Sang dalang tentu mempunyai pemahaman lebih soal menjaga loyalitas. Jangan sampai kacang panjang yang berbuah boneka-boneka hidup itu tak mau merambati lanjaran. Para dalang itu tentu tahu praktik dalam bisnis. Bahwa loyalitas pelanggan bisa dibeli. Karenanya, para dalang itu rajin memberi pupuk pada kacang-kacang itu, agar tumbuh subur dan tetap merambat di tiang perambat. Kemudian, ketika kacang-kacang itu telah berbuah boneka-boneka hidup, para dalang juga rajin memberi makan boneka-boneka itu. Kalau boneka-boneka hidup itu di kemudian hari bisa menjadi presiden atau wakil presiden, kepentingan mereka tentu akan dengan mudah terpenuhi lewat boneka-boneka itu.
Arrrrrrggggh. ... Kirain ini hanya imajinasi kanak-kanak saja. Ternyata, kita benar-benar melihatnya dalam kenyataan. Bahwa ada banyak boneka-boneka hidup. n proe12@republika. co.id