Oleh Adjar Irawan S Hidayat , Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 58
Jakarta (ANTARA News) - Bulan ini, 43 tahun lalu, bangsa ini mulai berbicara tentang reaktor nuklir, terhitung sejak “criticality- experiment” terhadap reaktor nuklir pertama Triga Mark II di Bandung berhasil dilakukan dengan baik.
Pemimpin percobaan Djali Ahimsa menulis dalam “log-book” tertanggal 16 Oktober 1964 : 18.37,5?, predict 57,5 critical.
Catatan itu menunjukkan bahwa pada jam tersebut sebanyak 57,5 batang elemen bakar nuklir (berisi 2,3 kg U-235) telah dipancingkan ke dalam teras reaktor dan pada kondisi itu reaksi inti yang berkesinambungan tepat sudah bisa terjadi.
Besaran 2,3 kg U-235 disebut bobot-kritis. Kritis di sini tidak ada kaitannya dengan bahaya.
Jauh hari kemudian, kepala proyek pembangunan reaktor Triga, Djali Ahimsa, menjadi Dirjen Batan.
Ketika itu, para pakar yang terlibat bersorak gembira dan lega.
Keesokan harinya, 17 Oktober 1964, koran daerah Harian Karya memberitakan soal kedatangan abad nuklir.
Sedangkan Radio Australia menyiarkan berita keesokan harinya “Indonesia mampu membuat reaktor atom”. Berita ini disusul dengan ulasan dua menit oleh “stringer” AK Jacoby yang menulis : Indonesia masuk abad nuklir.
Bersama 11 unit yang lain, reaktor jenis riset-reaktor ini (tipe Mark I dan Mark II) buatan General Atomic Mark II merupakan hibah dari pemerintah AS, awal 1960-an, kepada ke Vietnam, Korsel, Italia, Austria, Jepang, dan Indonesia seharga 350.000 dolar AS per unit. Kegunaannya untuk pelatihan, riset, produksi radio isotop.
Sekitar 25 tahun kemudian semua reaktor hibah tersebut telah dihentikan operasinya (decommissioning) karena sudah mencapai batas usia operasi, kecuali reaktor milik Indonesia, karena komponen-komponen utamanya telah diganti dengan membongkar reaktor kemudian memasang kembali dengan komponen baru sebanyak dua kali.
Pembongkaran pertama pada 1972 dipimpin Sutaryo Supadi dan pada 1997 dipimpin Haryoto Djoyosudibyo dan A. Hanafiah.
Pengawasan dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) atas segala sesuatunya, terutama neraca pemakaian dan keluar masuknya U-235.
Reaktor tipe itu, sebagaimana reaktor-riset lain pada umumnya, tidak mungkin meledak karena elemen-bakar U-235 konsentrasinya hanya 20 persen, sedang untuk bom perlu 98 persen. Jadi elemen-bakar kedua instalasi nuklir itu berbeda.
Lagi pula elemen bakar U-235 disenyawakan dengan “zirconium-hidrida” yang berubah menjadi bukan bahan bakar secara seketika, begitu temperatur terlalu tinggi sebelum meledak (negative prompt reactivity coeffisien).
Reaktor yang bekerja selalu menghasilkan panas dan netron. Panas bisa diubah menjadi energi listrik (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), sedangkan partikel netron untuk membuat “radioisotope” dengan cara menumbukkan kepada suatu zat kimia biasa menjadi zat radioaktif.
Kini Kepala Pusat Instalasi Nuklir di bawah naungan Batan ini dipimpin oleh Djatmoko M.Sc yang menyatakan sejauh ini tidak ada kecelakaan atau insiden nuklir, kecuali beberapa kali anomali yang sama sekali tidak membahayakan personel, termasuk pada waktu bongkar pasang reaktor dengan penggantian komponen-koponen utama (tangki, reflector, bellow, Lazy Susan, batang kendali, dan elemen-bakar) .
Aplikasi radioisotope
Para pakar telah mempelopori aplikasi “radioisotope” yang dihasilkan untuk penelitian hidrologi, seperti terhadap kebocoran tanggul Waduk Darma Kuningan (1967), penelitian gerakan sedimen Pelabuhan Tanjung Priok (1972), kedokteran nuklir (1970), pertanian (1969), dan industri (1968) dan kini telah mencapai jumlah puluhan proyek lainnya.
Pengiriman zat radioaktif juga pernah dilakukan ke Malaysia (1971) dan Singapura (1972) untuk penelitian. Pengiriman ini mempelopori ekspor zat hasil teknologi tinggi ini (Molybdenum) ke Malaysia sejak 15 tahun lalu, ke Vietnam, Thailand, bahkan Jepang sebagai hasil produksi Reaktor GA Siwabessy di Serpong buatan RFJ (reaktor riset ketiga) oleh PT Batantek (dipimpin oleh almarhum Bustomi dan Mulyanto).
Ratusan mahasiswa telah memanfaatkan reaktor Triga sebagai objek atau subjek tugas akhir. Reaktor telah beroperasi lebih dari seratus ribu jam.
Belasan senyawa “radioisotope” yang dibakukan telah dihasilkan. Satu di antaranya “Iodium-Hipuran” telah dipergunakan untuk diagnosa ginjal (renogram) terhadap ratusan pasien di delapan 8 Klinik Kedokteran Nuklir.
Kepercayaan IAEA kepada pakar Triga dibuktikan dengan belasan kontrak riset yang diberikan, dimulai riset tentang “tritium” atas nama Prof. Oei Ban Liang (1973) dan penyelenggaraan beberapa kali pertemuan ilmiah internasional serta penulisan hasil penelitian diberbagai jurnal fisika, kimia, dan biologi internasional.
Pengalaman mengganti komponen utama reaktor tersebut menjadi pelajaran untuk membangun reaktor nuklir sendiri, baik disain maupun konstruksinya seperti reaktor Kartini (1979) di Yogyakarta yang dipimpin Iyos R. Subki dan Suroto Ronodirjo (alm).
Pengalamam itu juga menjadi pelajaran dalam merencanakan membangun sebuah reaktor khusus hanya untuk produksi “radioisotope” yang semua komponennya merupakan hasil industri dalam negeri (kecuali peralatan kontrol elektronik dan elemen bakar uranium).
Pendidikan khusus pakar ke Inggris telah siap tahun 1994, tetapi tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada dana. Studi kelayakan penjualan “radioisotope” melalui agen internasional di Inggris dan Kanada telah rampung dan impas dicapai dalam 6-7 tahun.
Sebagai pemerhati nuklir yang pernah berkecimpung dalam perkembangan tenaga nuklir selama 20 tahun (1960-1980) dan mengamati di sana-sini perkembangannya termasuk kontroversi pembangunan PLTN sampai kini.
Dari pengamatan itu bisa disimpulkan bahwa tanpa niat, keberanian dan tekad bulat, bangsa Indonesia yang masih awam dan minim tenaga ahli reaktor pada waktu menginstalasi reaktor pertama Triga Mark II di Bandung awal tahun 1960-an tidak akan berhasil mencapai sasaran.
Demikian juga jikalau pemerintah dan parlemen, misalnya, memutuskan akan membangun PLTN, maka tekad bulat dan keberanian yang diperhitungkan harus dipegang teguh, bersatu-padu.
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”.
*) Adjar Irawan S Hidayat, pemerhati nuklir, alumni Fisika ITB tahun 1967, operator angkatan pertama reaktor Triga Mark II tahun 1964, dan Ketua Asosiasi PBB Indonesia (United Nations Association in Indonesia) sejak 1973-sekarang. Dia juga peraih Piagam Pembawa Pesan Perdamaian (Peace Messenger) PBB tahun 1994. (*)
Jakarta (ANTARA News) - Bulan ini, 43 tahun lalu, bangsa ini mulai berbicara tentang reaktor nuklir, terhitung sejak “criticality- experiment” terhadap reaktor nuklir pertama Triga Mark II di Bandung berhasil dilakukan dengan baik.
Pemimpin percobaan Djali Ahimsa menulis dalam “log-book” tertanggal 16 Oktober 1964 : 18.37,5?, predict 57,5 critical.
Catatan itu menunjukkan bahwa pada jam tersebut sebanyak 57,5 batang elemen bakar nuklir (berisi 2,3 kg U-235) telah dipancingkan ke dalam teras reaktor dan pada kondisi itu reaksi inti yang berkesinambungan tepat sudah bisa terjadi.
Besaran 2,3 kg U-235 disebut bobot-kritis. Kritis di sini tidak ada kaitannya dengan bahaya.
Jauh hari kemudian, kepala proyek pembangunan reaktor Triga, Djali Ahimsa, menjadi Dirjen Batan.
Ketika itu, para pakar yang terlibat bersorak gembira dan lega.
Keesokan harinya, 17 Oktober 1964, koran daerah Harian Karya memberitakan soal kedatangan abad nuklir.
Sedangkan Radio Australia menyiarkan berita keesokan harinya “Indonesia mampu membuat reaktor atom”. Berita ini disusul dengan ulasan dua menit oleh “stringer” AK Jacoby yang menulis : Indonesia masuk abad nuklir.
Bersama 11 unit yang lain, reaktor jenis riset-reaktor ini (tipe Mark I dan Mark II) buatan General Atomic Mark II merupakan hibah dari pemerintah AS, awal 1960-an, kepada ke Vietnam, Korsel, Italia, Austria, Jepang, dan Indonesia seharga 350.000 dolar AS per unit. Kegunaannya untuk pelatihan, riset, produksi radio isotop.
Sekitar 25 tahun kemudian semua reaktor hibah tersebut telah dihentikan operasinya (decommissioning) karena sudah mencapai batas usia operasi, kecuali reaktor milik Indonesia, karena komponen-komponen utamanya telah diganti dengan membongkar reaktor kemudian memasang kembali dengan komponen baru sebanyak dua kali.
Pembongkaran pertama pada 1972 dipimpin Sutaryo Supadi dan pada 1997 dipimpin Haryoto Djoyosudibyo dan A. Hanafiah.
Pengawasan dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) atas segala sesuatunya, terutama neraca pemakaian dan keluar masuknya U-235.
Reaktor tipe itu, sebagaimana reaktor-riset lain pada umumnya, tidak mungkin meledak karena elemen-bakar U-235 konsentrasinya hanya 20 persen, sedang untuk bom perlu 98 persen. Jadi elemen-bakar kedua instalasi nuklir itu berbeda.
Lagi pula elemen bakar U-235 disenyawakan dengan “zirconium-hidrida” yang berubah menjadi bukan bahan bakar secara seketika, begitu temperatur terlalu tinggi sebelum meledak (negative prompt reactivity coeffisien).
Reaktor yang bekerja selalu menghasilkan panas dan netron. Panas bisa diubah menjadi energi listrik (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), sedangkan partikel netron untuk membuat “radioisotope” dengan cara menumbukkan kepada suatu zat kimia biasa menjadi zat radioaktif.
Kini Kepala Pusat Instalasi Nuklir di bawah naungan Batan ini dipimpin oleh Djatmoko M.Sc yang menyatakan sejauh ini tidak ada kecelakaan atau insiden nuklir, kecuali beberapa kali anomali yang sama sekali tidak membahayakan personel, termasuk pada waktu bongkar pasang reaktor dengan penggantian komponen-koponen utama (tangki, reflector, bellow, Lazy Susan, batang kendali, dan elemen-bakar) .
Aplikasi radioisotope
Para pakar telah mempelopori aplikasi “radioisotope” yang dihasilkan untuk penelitian hidrologi, seperti terhadap kebocoran tanggul Waduk Darma Kuningan (1967), penelitian gerakan sedimen Pelabuhan Tanjung Priok (1972), kedokteran nuklir (1970), pertanian (1969), dan industri (1968) dan kini telah mencapai jumlah puluhan proyek lainnya.
Pengiriman zat radioaktif juga pernah dilakukan ke Malaysia (1971) dan Singapura (1972) untuk penelitian. Pengiriman ini mempelopori ekspor zat hasil teknologi tinggi ini (Molybdenum) ke Malaysia sejak 15 tahun lalu, ke Vietnam, Thailand, bahkan Jepang sebagai hasil produksi Reaktor GA Siwabessy di Serpong buatan RFJ (reaktor riset ketiga) oleh PT Batantek (dipimpin oleh almarhum Bustomi dan Mulyanto).
Ratusan mahasiswa telah memanfaatkan reaktor Triga sebagai objek atau subjek tugas akhir. Reaktor telah beroperasi lebih dari seratus ribu jam.
Belasan senyawa “radioisotope” yang dibakukan telah dihasilkan. Satu di antaranya “Iodium-Hipuran” telah dipergunakan untuk diagnosa ginjal (renogram) terhadap ratusan pasien di delapan 8 Klinik Kedokteran Nuklir.
Kepercayaan IAEA kepada pakar Triga dibuktikan dengan belasan kontrak riset yang diberikan, dimulai riset tentang “tritium” atas nama Prof. Oei Ban Liang (1973) dan penyelenggaraan beberapa kali pertemuan ilmiah internasional serta penulisan hasil penelitian diberbagai jurnal fisika, kimia, dan biologi internasional.
Pengalaman mengganti komponen utama reaktor tersebut menjadi pelajaran untuk membangun reaktor nuklir sendiri, baik disain maupun konstruksinya seperti reaktor Kartini (1979) di Yogyakarta yang dipimpin Iyos R. Subki dan Suroto Ronodirjo (alm).
Pengalamam itu juga menjadi pelajaran dalam merencanakan membangun sebuah reaktor khusus hanya untuk produksi “radioisotope” yang semua komponennya merupakan hasil industri dalam negeri (kecuali peralatan kontrol elektronik dan elemen bakar uranium).
Pendidikan khusus pakar ke Inggris telah siap tahun 1994, tetapi tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada dana. Studi kelayakan penjualan “radioisotope” melalui agen internasional di Inggris dan Kanada telah rampung dan impas dicapai dalam 6-7 tahun.
Sebagai pemerhati nuklir yang pernah berkecimpung dalam perkembangan tenaga nuklir selama 20 tahun (1960-1980) dan mengamati di sana-sini perkembangannya termasuk kontroversi pembangunan PLTN sampai kini.
Dari pengamatan itu bisa disimpulkan bahwa tanpa niat, keberanian dan tekad bulat, bangsa Indonesia yang masih awam dan minim tenaga ahli reaktor pada waktu menginstalasi reaktor pertama Triga Mark II di Bandung awal tahun 1960-an tidak akan berhasil mencapai sasaran.
Demikian juga jikalau pemerintah dan parlemen, misalnya, memutuskan akan membangun PLTN, maka tekad bulat dan keberanian yang diperhitungkan harus dipegang teguh, bersatu-padu.
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”.
*) Adjar Irawan S Hidayat, pemerhati nuklir, alumni Fisika ITB tahun 1967, operator angkatan pertama reaktor Triga Mark II tahun 1964, dan Ketua Asosiasi PBB Indonesia (United Nations Association in Indonesia) sejak 1973-sekarang. Dia juga peraih Piagam Pembawa Pesan Perdamaian (Peace Messenger) PBB tahun 1994. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar