Kamis, 04 September 2008

Manajemen Energi yang Amburadul

Oleh Andi Sahrandi Konsultan Teknik , Perhimpunan Mahasiswa Bandung A 67

Listrik yang dipasok PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sering mati-hidup, karena kurang pasokan batu bara. Padahal kita punya batu bara dan bahan bakar minyak yang banyak. Tapi, ternyata bukan milik Republik, melainkan pengusaha, akibat peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat. Krisis listrik diperkirakan akan terus berlanjut akibat PLN kesulitan pasokan batu bara ini.
Kita juga punya minyak dan gas, tapi kita selalu kekurangan, karena juga bukan milik Republik, melainkan pengusaha yang membengkakkan cost recovery, sehingga bagian mereka lebih banyak dari rakyat. Kita tak bisa seperti Venezuela yang memiliki pemerintah yang tegas, yang mengatur energi yang berpihak kepada rakyat.
Kita juga tidak serius menangani biofuel. Yang ada, lembaga-lembaga yang berkompeten soal energi tidak mampu memprogramkan dengan baik. Kita hanya bisa dibohongi oleh “blue energy” saja. (Ingat Cut Zahara Fona yang berhasil membohongi pejabat negara di awal tahun 70-an dengan bayi ajaibnya dan Markonah yang membohongi pejabat negara awal 60-an dengan pengakuannya sebagai ratu Kubu. Ingat pula menteri pertanian yang melaporkan adanya guci yang dapat menyuburkan tanah di pertengahan 70-an. Juga, menteri agama yang menggali situs bersejarah mencari harta karun di awal 2000-an).
Pembuatan-pembuatan pembangkit energi juga tidak terprogram. Pembuatan-pembuatan pembangkit energi sekarang dilakukan lebih karena kepepet atau karena ada pihak-pihak tertentu yang lagi berbisnis. Kita juga tidak serius mencari sumber-sumber energi listrik untuk daerah-daerah dengan cara memakai energi air dan angin yang jauh lebih murah.
Dulu ada rencana membuat Dewan Energi Nasional. Tapi, rencana itu tidak pernah terwujud. Padahal hal tersebut sangat penting. Manajemen energi sangat penting untuk diseriuskan, karena ketergantungan kita sangat besar pada energi. Dewan Energi Nasional dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan energi nasional dan mengawasi pelaksanaan kebijakan itu.
Kebutuhan kita pada energi untuk 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun ke depan perlu diprediksi dengan benar. Peningkatan dari pertumbuhan penduduk mengakibatkan juga pertumbuhan kebutuhan energi untuk rumah tangga (listrik, gas, dan lain-lain), kendaraan/transport asi, bisnis, industri, dan lain-lain.
Tiadanya manajemen energi nasional membuat peningkatan kebutuhan energi terus tidak terkontrol. Pada 2007, peningkatan kebutuhan pada minyak mencapai 12 persen dan peningkatan kebutuhan gas mencapai 15 persen untuk minyak.
Karena itu, kita perlu mengkaji sumber-sumber energi yang kita punyai itu. Berapa banyak batu bara kita, minyak kita, gas kita, angin kita, air kita, biofuel kita, panas bumi kita, dan lain-lainnya. Berapa banyak yang tersedia dan berapa lama dapat bertahan?
Dengan mengetahui jumlah deposit sumber energi kita, kita juga perlu membuat rencana penggunaan sumber energi menjadi energi sesuai dengan kebutuhan. Rencana itu perlu disusun secara bertahap sesuai tingkat kebutuhan yang terus bertambah. Berdasarkan hal-hal tersebut, kemudian pemerintah harus segera membuat peraturan-peraturan yang betul-betul harus ”menguntungkan rakyat Indonesia”, seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33.
Peraturan yang tepat itu diperlukan untuk mengatur pola kepemilikan sumber, pola produksi, pola tata niaga, dan lainnya. Dalam hal ini, tentu saja harus ditegaskan secara nyata untuk kepentingan rakyat Indonesia sebagai yang dinomorsatukan.
Baru kemudian untuk kepentingan ”dagang”. Pentahapan lewat rencana ini harus dilakukan (ingat Repelita). Harus dipikirkan pula kepentingan anak-cucu bangsa sendiri, baru untuk orang lain.
Adanya Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, belum memberikan kabar baik. Karena aturan itu dibuat tanpa perhitungan yang matang.
Melihat upaya yang dilakukan pemerintah sampai hari ini, mana mungkin pada 2025 pemanfaatan minyak bumi hanya 20 persen dari total pemanfataan energi di Indonesia? Mana mungkin pemanfaatan batu bara pada 2025 bisa mencapai 33 persen jika sampai hari ini, pemerintah belum memedulikan kepentingan dalam negeri?

Tidak ada komentar: